Saturday, December 31, 2011

New Year, New Resolution, New Hope, New Me

Hidup ibarat buku gambar
Setiap lembarannya berisi banyak bentuk dan warna
Lengkap dengan tulisan penambah keterangan

Lembar buku bergambar tahun 2011 ini sudah penuh
Penuh dengan beragam bentuk dan corak
Penuh dengan berbagai warna
Penuh dengan bermacam corat coret

Lembar buku yang akan berganti judul 2012
Mari kita isi setiap lembarnya dengan ragam corak dan gaya baru
Mari kita isi setiap lembarnya dengan warna-warna optimisme
Mari kita isi setiap lembarnya dengan coretan pembangkit semangat
Agar setiap lembarannya dapat merepresentasikan impian-impian yang belum terwujud

Selamat Tahun Baru 2012

~Hindra & Indry, New Year, New Resolution, New Hope, New Me~

Selamat Tahun Baru 2012

Ketika mereka berlari meninggalkan masa lalu, aku terdiam merenungkannya. Ketika mereka melupakan masa lalu, aku kembali mengingatnya. Ketika tak ada satu pun dari mereka yang dapat menunjukan arah, masa lalu memberikan berbagai pencerahan berarti untuk melangkah maju.

Masa lalu yang mengajarkan kepedihan. Masa lalu yang mencemooh. Masa lalu yang tidak memberikan kepercayaan. Masa lalu yang penuh cacian dan hujatan. Masa lalu yang membangkitkan hasrat mewujudkan impian terpendam.

Berhenti sesaat, menengok ke belakang, merefleksikan diri menjadi individu yang lebih jernih berpikir untuk melangkah lebih jauh di masa depan.

Penghaturan terima kasih teramat sangat pada mereka, mereka yang memberikan masa lalu. Karena mereka, masa lalu itu menjadi berharga. Berharga karena tanpa mereka tak kan ku kenal rasa ditinggalkan. Karena tanpa mereka tak kan ku kenal arti percaya. Karena tanpa mereka tak kan ku kenal cara berjuang. Karena tanpa mereka hidup ini hanya mengenal hitam dan putih.

Selamat tahun baru, semoga di tahun 2012 ini pun mereka masih akan menggambar berbagai corak dengan bermacam warna dalam hidup agar di kemudian hari aku akan berterima kasih lagi pada masa lalu.

Friday, December 30, 2011

Surat Untuk Sahabat

Natal pagi, aku terbangun sambil teringat padamu. Sahabat bertengkarku, sahabat mendengarku. Terlalu banyak persamaan diantara kita hingga perdebatan sering tak terelakan. Persamaan yang sering menjadi bumerang dalam perjalanan persahabatan kita.

Persamaan dalam segala hal, sesama anak sulung, memeluk keyakinan yang sama, aktif di Gereja, organ sebagai alat musik pilihan, bertahan di paskibra walaupun dicemooh seisi sekolah, belajar bahasa inggris di tempat kursus yang sama, mengejar impian yang sama, berjuang di UMPTN yang sama, memimpikan kuliah di kampus yang sama.

Namun ternyata kita berbeda sangat sahabat. Kau pribumi dan aku keturunan Tionghoa. Kau tetap aktif di Gereja hingga akhir hayatmu sedangkan aku tidak. Organ tetap kau geluti hingga tingkat akhir namun tidak denganku. Kau fokus mengejar impianmu sedangkan aku memilih mundur. Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri kau kalahkan sedangkan aku terhambat kemampuan otak. Kau injak kampus idaman kita sedangkan aku hanya menatapmu jauh.

Dengan segala persamaan yang kita miliki dan kita bagi selama ini, ternyata menyimpan begitu banyak perbedaan mencolok antara kau dan aku. Kau mengajarkan bahwa dengan perbedaan besar itu kita tetap dapat saling bersahabat.

Aku merindukan saat-saat Natal bersamamu. Aku menantikan kartu ucapan Natal darimu. Aku menatap nanar layar ponsel berharap kau akan menyapa dengan suara beratmu. Aku menunggu di depan layar komputer berharap kau kirimkan surat eletronik.

Aku tahu semua yang kuinginkan tak kan mungkin terkabul. Sepuluh tahun sudah, semoga kau nyaman disisi-Nya. Selamat Natal dan Tahun Baru sahabat lama...

~RIP Yuninta Maria (1981-2001)~

Kado-kado Natal yang cantik

Di salah satu sudut restoran
Para putri cantik itu tertawa ramai

Beragam kotak berbagai ukuran dibungkus kertas warna warni nan cantik

Kotak-kotak tersebut berputar, mencari pemiliknya
Sang putri pemilik kotak bergantian membukanya

Satu persatu kotak tersebut terbuka memuntahkan isinya
Putri-putri cantik tertawa ramai, mendapati kado-kado Natal yang cantik

Mereka berpose penuh gaya mendekap kado-kado cantik
Puas bergaya dan tertawa ramai, kado-kado cantik dibungkus kembali dalam tas

Mereka beranjak pulang, membawa serta kado-kado cantik
Restoran ini kembali senyap, kado-kado cantik itu telah pergi

Thursday, November 17, 2011

Cerpen 7 - Ayah yang Gagal

Siang itu ibu meneleponku. Telepon biasa saja, namun tiba-tiba ibu menyampaikan berita tak mengenakan. Dia bilang ayah akan bercerai lagi. Bercerai untuk kedua kalinya.

Apa-apaan dia? Tak cukupkah satu kegagalan dalam rumah tangganya? Apa pernah dia pikirkan nasib anak-anak hasil perceraiannya itu? Gila! Tak waras betul dia. Aku sungguh tak mengerti jalan pikirannya.

Bertahun lalu ia sudah meninggalkan keluarganya, ibuku, aku, dan seorang adik perempuan. Ibu tak mau melepaskannya dengan surat cerai hingga aku dan adikku lulus kuliah. Ibu ingin ia bertanggung jawab sebagai seorang ayah yang baik. Ibu selalu mengawasi keuangannya agar uang sekolah kami tak telat dibayar. Ibu memaksanya untuk selalu mengirimkan uang bulanan kami tepat waktu.

Ketika aku dan adikku lulus kuliah, ibu langsung berputar otak, mencari segala cara agar bisa membebaskan kami dari dia. Ibu menyelamatkan beberapa harta benda agar bisa kami gunakan kala dia meninggalkan kami. Ibu tak ingin kami hidup dalam keterpurukan ketika mereka bercerai. Ibu tak mau hasil kerja kerasnya diakui sebagai milik ayah, lalu diperebutkan oleh istri mudanya. Ibu memikirkan nasib kani setelah ditinggalkan ayah.

Tak lama kemudian ibu mengabarkan mereka akan bercerai. Proses itu sedang berlangsung. Semua kerabat mencoba mencegah proses itu, ibu mengabaikannya. Ibu tetap dengan keputusannya.

Tak ada seorang pun yang tahu bahwa sudah bertahun-tahun ibu tak tidur seranjang dengannya. Tak ada yang tahu bertahun-tahun ibu tak bertegur sapa lagi dengan ayah. Tak ada satu orang pun yang tahu ibu tak pernah bertemu ayah. Tak ada seorang pun yang tahu mereka berhubungan sebatas uang kiriman untukku dan adik. Tak ada yang tahu ayah sudah memiliki keluarga lain.

Ku tutup mata dan telingaku, aku tak ingin melihat maupun mendengar orang-orang itu menjelek-jelekan ibu. Mereka tak mengenal ibu sebaik aku. Aku tak melihat ada jalan keluar lain dari masalah ini. Ibu sudah bertahan cukup lama dengan ayah.

Lalu setelah perceraian itu ayah tinggal dengan istri mudanya, istri yang sudah memberikan dua orang anak padanya. Aku tak mau perduli lagi padanya, sama seperti dia yang tak mau perduli lagi padaku. Aku menghilang dari hadapannya perlahan-lahan. Aku tak mau menghubunginya lagi.

Dan kini, setelah enam tahun berlalu, kembali aku dengar berita menyedihkan itu. Cerita perih itu kembali diulangnya, hanya saja kali ini pada keluarga yang berbeda. Entah bagaimana nasib dua orang anak yang masih kecil-kecil dari istri mudanya.

Kali ini aku muak mendengar semua cerita tentangnya. Terlepas dari semua yang telah ia lakukan untukku, aku hanya akan mengakuinya sebagai ayahku. Tak lebih, tak kurang.

Aku tak ingin menjadi seperti dia, pecundang. Aku tak ingin keluarga yang hancur seperti yang pernah ia buat untuk kami.

Malam ini kembali aku berdoa pada Sang Pemberi Nyawa, mohon jadikan aku seorang suami dan ayah yang baik bagi keluargaku. Amin...

Cerpen 6 - Orang Gila Itu Ayahku

"Brengsek kau! Lebih baik aku tak dilahirkan daripada memiliki ayah seperti kau! Dasar sialan!"

Brak!!
Pintu rumah itu kubanting.
Tak bisa kupercaya, aku memiliki ayah macam dia. Ayah tak berguna yang hanya mampu merongrong istri dan keluarganya. Ayah yang tak sanggup kuakui sebagai ayahku. Ayah yang lebih pantas kupanggil sebagai "Orang Gila".

Entah bagaimana cerita awalnya hingga kedua orang tuaku menikah, yang aku tahu ialah semenjak aku lahir mereka sudah sering bertengkar, meneriakan semua isi kebun binatang bersahut-sahutan. Ketika mereka bertengkar aku hanya bisa meringkuk di pojokan kamar sembari menutup telingaku, agar tak kudengar kata-kata jahanam tak berperikemanusiaan itu diteriakan. Kakak perempuanku tak peduli apa yang terjadi di rumah. Dia selalu melarikan diri, bersenang-senang dengan teman-temannya. Hanya aku yang menemani ibuku di rumah bersama bajingan itu. Namun jika ia di rumah, "Orang Gila" tak mampu berkata-kata. Kakak perempuanku bagai singa si raja hutan. Aumannya dapat menggetarkan hati siapa pun yang mendengar. Seisi hutan akan terdiam dan berlari menjauh. Menunggu hingga sang raja hutan kembali tenang. Tak terkecuali "Orang Gila".

Ibu harus bekerja, ia menghidupi aku dan kakak perempuanku. Beruntung aku memiliki seorang paman kaya, konglomerat terpandang, ia membantu ibu mencukupi kebutuhan rumah serta sekolah aku dan kakak perempuanku. Tanpanya mungkin aku dan kakak perempuanku tak akan bisa melanjutkan sekolah. Sedangkan "Orang Gila" itu, dia hanya seorang pemalas yang berkedok broker mobil bekas.

Suatu kali mereka bertengkar, semua kata cacian mereka keluarkan. Seperti biasa aku kembali meringkuk di kamarku. Kakak perempuanku setelah ikut meneriakan isi kebun binatang, pergi keluar rumah, entah kemana. Tak lama, ku dengar ibu berteriak kencang, teriak ketakutan. Aku berlari keluar kamar, ku lihat "Orang Gila" menodongkan pisau dapur ke ibu. Dia mengancamnya. Ibu terkejut, mukanya pucat ketakutan. Aku menarik tangan ibu, ku ajak ia bersembunyi di kamarku. Ketika situasi kelihatan aman, ibu berlari keluar rumah, ia kabur ke rumah paman. "Orang Gila" itu mengejarnya, menjemput paksa dari rumah paman, dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.

Namun esoknya "Orang Gila" kembali menodongkan pisau ke ibu. Kali ini ibu berlari ke kantor polisi. Naas bagi ibu, polisi tak mau mengurusi masalah keluarga tak berduit macam kami. Polisi menyuruhnya pulang ke rumah dan menyelesaikan masalah keluarganya dengan suaminya. Ibu tak berani pulang, ia ketakutan, takut akan suaminya sendiri.

Kali lain aku yang bertengkar dengan "Orang Gila" itu, tak tahan beradu mulut dengannya aku pergi meninggalkan rumah dan ibu. Aku berlari ke rumah paman. Aku bersembunyi disana. Ibu menangis, ia takut aku meninggalkannya. Ia tak berdaya menanggapi "Orang Gila". Ia berharap aku cepat pulang, menemaninya di malam hari. Bersembunyi berdua di kamar kecilku. Aku bertahan di rumah paman, aku tahu aku tak kuasa melawan "Orang Gila". Kakak perempuanku yang perkasa berkata pedas melawannya. Sepotong kalimat tegas dari kakak perempuanku membuat "Orang Gila" terdiam.

Aku pulang ke rumah lagi. Aku takut, takut akan kejadian yang tak ingin kualami lagi. Takut akan hardikan "Orang Gila". Namun dari semua ketakutan itu aku tahu aku harus melindungi ibu, dan aku tahu kakak perempuan ku yang berlagak macam singa sang raja hutan itu melindungi kami. Aku tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung, namun aku tak akan lari lagi. Aku akan melawannya!

Cerpen 5 - Lamaran

Dia, siang itu aku melihatnya. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki berumur sekitar 3 tahun. Wanita di depannya memangku seorang putri kecil yg cantik. Aku terpaku, dia sudah berkeluarga dengan 2 orang putra putri. Air mataku mengalir perlahan.

Lima tahun lalu, aku berteriak mengusirnya keluar dari kamar kostku. Aku tak tahan menjalani masa-masa bersamanya tanpa kejelasan akan lanjutan hubungan ini. Enam tahun bersamanya dan tak sedetik pun dia pernah mengucapkan kalimat yg teramat sangat ingin kudengar, lamaran.

Bertahun aku bersabar menunggu kalimat lamaran itu dia ucapkan. Bertahun aku bersabar menantinya menunjukkan keseriusan akan hubungan ini. Bertahun aku bersabar menghadapi tanggapan dingin kedua orang tuanya padaku. Bertahun aku bersabar menutup telinga saat kedua orang tuaku bertanya kemana hubungan ini kan kami bawa. Bertahun aku bersabar, hingga aku tak tahan lagi.

Kesabaran ku habis, dan tiba-tiba saja emosiku memancak, kemudian tanpa sadar kulontarkan juga pertanyaan tak sabarku padanya. Dan yg membuatku kecewa, dia hanya terdiam. Diam, tak ada sepatah kata pun yg dia gumamkan. Geram. Aku geram dibuatnya. "Keluar kau dari sini. Aku tak ingin melihatmu lagi". Malam itu aku usir dia dari kamar kostku.

Malam berikutnya dia datang kembali, namun tetap tanpa sepotong kalimat penenang yg ingin kudengar. Diam. Kami hanya berdiaman di kamar kostku, sampai larut malam, hanya diam. Begitu terus berhari2.
Aku tak tahan dgn sikapnya. Aku mencari pelarian. Seorang rekan kerja sekantor menarik perhatian ku. Benar-benar perhatian yg memikat. Aku tertarik dengan daya pikatnya. Aku tak sanggup berpaling. Aku selingkuh. Selingkuh terang-terangan di depan matanya. Aku akan buat dia cemburu. Akan kubuat dia menyerah. Akan kupakai segala cara agar dia mau mengucapkan kalimat sakti itu. Lamaran.

Dia tahu aku menyakitinya, namun dia hanya diam saja. Dia tetap berpikir laki-laki itu hanya rekan kerja tanpa maksud terselubung. Dia tak mau mengucapkan kalimat itu. Kalimat yg amat aku tunggu. Aku gila dibuatnya. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana lagi memaksanya. Memaksanya mengucapkan kalimat itu. Aku nekat. Aku akan mengeluarkan senjata terakhir ku. Putus.

Satu minggu telah lewat. Aku sudah melontarkan kata putus padanya. Dia masih singgah di kostku. Tak menyerah melepasku. Namun lamaran itu masih tak kudengar dari mulutnya. Setiap dia datang aku tak ingin melihat mukanya. Dia pulang tanpa bisa menjelaskan. Menjelaskan alasannya menunda kalimat itu. Aku kesal. Aku tak mau terima semua alasan omong kosongnya. Alasan yg hanya dibuat-buat.

Lama tak kulihat dirinya, aku rindu sosok diamnya. Lama tak kudengar kabarnya, aku rindu mata teduhnya. Lama tak kudengar suaranya, aku rindu tawanya. Lama, aku rindu padanya.
Aku mencari sosoknya. Aku mencoba menghubungi semua kenalannya. Aku bertanya segala hal tentangnya. Tak kusangka aku akan mendengar cerita itu. Cerita yg seharusnya menjadi ceritaku. Dia akan menikah. Menikah dengan seorg wanita yg baru dikenalnya setahun belakangan. Seorang wanita yg menjadi pelariannya ketika aku selalu menutup pintu kostku kala dia datang dulu. Seorang wanita yg tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia akan menikah.

Seorang kenalan bilang betapa bodoh aku dulu. Seorang kenalan bercerita bahwa dia sedang mengumpulkan uang agar ketika menikah kami tak akan mengemis dengan orang tua sehingga orang tuanya yakin dan mengijinkan kami menikah. Sayang waktu itu aku tak sabar dan selalu menuntutnya hingga dia kebingungan. Dia menutup matanya ketika tahu aku memaksanya dengan cara memanfaatkan kebaikan seorang rekan kerja, perselingkuhan yang sebenernya menyakiti hatinya. Tapi dia tahu itu sebenarnya hanya salah satu akal-akalanku saja.

Kalau saja waktu itu aku mau mendengar penjelasannya. Kalau saja waktu itu aku mau membuka telingaku. Kalau saja waktu itu aku mau bersabar sedikit lagi. Kalau saja... Kalimat penyesalan tiada guna.

Dan disinilah aku berdiri sekarang. Menatap dia dan keluarga kecilnya dari kejauhan. Menyesali kebodohanku karena tak sabar menantinya sedikit lagi. Menangisi keputusan yg pernah kubuat. Berdiri terpaku tanpa seorang pendamping disisiku. Perihku melihatnya.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku mendoakannya. Semoga dia mendapatkan yg terbaik. Semoga keluarga kecilnya bahagia selalu. Semoga dia tetap mengingatku dan kenangannya bersamaku. Semoga... Semoga aku bisa seperti dia.

Aku berbalik
Selamat tinggal masa lalu ku...

Saturday, November 5, 2011

Lakon Pecundang

Belum lama Bumi tertawa kencang. Ada apa dengannya? Pikirku.
"Hei, 1 tahun sudah berlalu & 1 tahun jg berkurang umurmu di sini. Lalu apa yg sudah kau kerjakan? Kau hanya menjadi penonton disaat semua orang berlakon. Mau jadi pecundang kau? Hahaha".
Apa? Pecundang? Hardik ku bergema.
"Kau lihat, semua orang sudah bergerak, berjalan, bahkan berlari. Memainkan perannya masing-masing. Kau? Hanya duduk disana, tak berbuat apa-apa. Menjadi penonton abadi. Atau lebih baik kau kupanggil pecundang abadi!"
Kurang ajar kau! Umpat ku tak digubrisnya.
Dan sekali lagi terdengar tawa kencang di telingaku, Bumi tertawa mengejek.
Sial!!

Thursday, November 3, 2011

Perjalanan [Rahasia] Kita

11 thn lalu, tak ada yg tahu irc room chat menjadi tempat bercanda kita

10 thn lalu, tak ada yg tahu gereja menjadi tempat kencan pertama kita

5 thn lalu, tak ada yg tahu kita merancang masa depan kita

4 thn lalu, tak ada yg tahu kita mewujudkan rencana kita

Tahun ini, tak ada yg tahu kita masih berjuang bersama mengatasi perbedaan di antara kita

Perjalanan ini masih panjang, pertempuran baru dimulai

Biarlah semua perbedaan perspektif membentuk satu jalinan tali merah persahabatan yg makin lama semakin kuat, hingga tak ada satu mata pisau pun yg mampu menyobeknya

Tak ada satu topan atau badai yg mampu melumpuhkan.

Teruntuk sahabat terbaik ku, Hindra Salim ~ 4th year of journey

Thursday, September 22, 2011

Salam Persahabatan

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengundang saya untuk datang ke pembukaan restoran miliknya. Jujur saja, saya sedikit merasa tersanjung dengan undangannya, karena sepengetahuan saya teman tersebut tidak banyak mengundang teman-teman saya lainnya. Disini saya sebut ia sebagai teman karena tampaknya tak pantas bagi saya untuk menyebutnya sebagai sahabat, disebabkan hubungan pertemanan kami yang tidak cukup akrab sehingga jika menyebutnya sahabat seperti mengharapkan sesuatu yang lebih dari dirinya, padahal belum tentu ia ingin berakrab-akrab dengan saya dan menyebut saya sebagai sahabatnya, jadi saya putuskan disini bahwa saya akan menyebutnya sebagai teman saja.

Dari penjelasan singkat tadi mungkin bisa ditangkap sedikit alasan ketersanjungan saya akan undangannya tadi. Hubungan pertemanan kami tidak terlalu akrab, bermula dari teman SMP sampai dengan SMU lalu berpisah di bangku kuliah, bertemu lagi beberapa pernikahan sahabat-sahabat kami dan berpisah lagi, lalu bertemu lagi di salah satu tempat fitness dan berpisah lagi, bertemu lagi di salah satu kedai kopi langganan kami dan kemudian berpisah lagi, bertemu lagi di seminar atau reuni sekolah dan berpisah lagi, begitu terus. Dan tiba-tiba saya mendapat undangan untuk pembukaan restorannya yang baru di daerah Jakarta Barat. Cukup tersanjung mendapatinya walaupun pada akhirnya saya tidak dapat menepati janji saya untuk datang ke acara pembukaan tersebut. Free Flow Beer yang dijanjikannya terpaksa saya lupakan karena banyak hal. Hal itulah yang membuat saya tidak berani untuk menyebutnya sahabat saya, takut nanti dikira saya terlalu ge-er, padahal dia sendiri hanya menganggap saya sebagai salah satu teman sekolahnya saja

Jujur saja, sebenarnya saya cukup kagum dengan jalan hidupnya, walaupun ada beberapa teman dan sahabat yang memandang tak suka padanya. Seingat saya, ketika duduk di bangku kelas 3 SMU ayahnya meninggal dunia, lalu menyusul ibunya ketika kami duduk di bangku kuliah. Saya menyempatkan diri untuk datang melayat sekaligus mencari tahu bagaimana nasib kehidupannya mendatang. Akan tinggal dengan siapakah dia? Apakah akan terus melanjutkan kuliahnya atau tidak? Darimana keuangannya akan mengalir? Kepada siapa dia akan mengadu kalau tertimpa bencana? Semua pertanyaan itu tidak pernah terjawab karena kami tak pernah bertemu lagi dan beberapa teman yang kehilangan kontak dengannya.

Sampai suatu ketika, selepas 2 tahun saya meninggalkan bangku kuliah, saya bertemu dengannya di salah satu tempat fitness yang terletak di salah satu mall besar di bilangan Jakarta Barat. Saat bertemu dengannya saya cukup canggung karena ketidakakraban satu sama lain, namun saya beranikan diri saja untuk mengajaknya bertukar cerita. Ternyata selama ini ia tetap kuliah sambil meneruskan usaha ayahnya di Bangka Belitung sekaligus menjadi orang tua bagi seorang adik perempuannya. Suatu siklus kehidupan yang cukup berat bagi seorang laki-laki berusia 21 tahun, usia yang bagi sebagian orang digunakan untuk bersenang-senang, bermain sepuasnya dengan orang-orang seumurannya, berpesta pora sampai pagi, mabuk-mabukan tak kenal waktu, menghabiskan uang jajan pemberian orang tuanya, namun hal itu tak mungkin baginya. Saat itu ia harus memilih antara menjadi seorang egois yang tetap memposisikan diri sebagai seorang anak muda dengan banyak keinginan atau menjadi seorang kakak sekaligus ibu dan ayah bagi seorang adiknya yang masih kecil dan melanjutkan perusahaan ayahnya demi membayar hidupnya dan adiknya. Pilihan yang sulit menurut saya, karena bagi saya, usia 21 tahun itu adalah usia dimana saya baru merasakan nikmatnya mengenal dunia pergaulan anak muda jaman sekarang, bersenang-senang dengan teman satu geng sampai larut malam, tidak usah bersusah-susah memikirkan akan makan apa besok, apakah bisa membayar gaji asisten rumah tangga bulan ini atau tidak, ketika kurang uang jajan maka akan menyodorkan tangan pada ayah saya.

Semua ketidakkhawatiran saya menjadi kekhawatirannya, namun ketika ia melihat adik perempuannya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang seorang ayah dan ibu, ia pun bersemangat untuk merangkap pekerjaan ayah dan ibunya sekaligus menjadi kakak yang siap berbagi cerita serta keluh kesah. Sejak pertemuan itu, kami jadi lumayan sering bertemu di beberapa pernikahan teman dan sahabat kami. Dan sejak itu juga, saya menjadi lebih tidak canggung ketika bertemu dengannya.

Suatu waktu, saya mendapat berita darinya, ia mendapat rekan kerja seorang penilai makanan ternama Ibukota, ia akan membuka kedai makanan di Bali, dan voila, jadilah sekarang ia seorang pebisnis makanan. Mungkin karena merasa sudah lebih berhasil dibanding beberapa teman sepermainannya, membuat dirinya menjadi sedikit pongah dan berlagak. Tak sedikit dari teman dan sahabat saya yang memutuskan tidak ingin meneruskan pertemanan dengannya, karena tindak tanduknya yang sudah melebihi batas seorang yang sukses di usia muda. Mungkin baginya tak masalah teman-teman tersebut menjauhinya, sepertinya ia tak merasa rugi kehilangan teman-teman sepermainannya dulu. Dan sekarang, ketika ia sudah mandiri dan bisa membuka satu restoran lagi, sepenglihatan saya tak satu pun teman sepermainan kami mengucapkan selamat atas keberhasilannya, dan tak satu pun dari mereka diundang datang ke pembukaan restoran tersebut.

Bagi saya, memiliki seorang teman dan atau sahabat itu seperti memiliki asset penting perusahaan. Saya selalu berusaha memperlakukan teman dan atau sahabat seperti layaknya memperlakukan asset penting. Mengapa saya sebut asset penting, nanti saya jelaskan. Sebisa mungkin saya menyempatkan pertemuan-pertemuan dengan mereka, atau jika keterbatasan waktu maka tinggal tekan nomor telepon mereka maka perbincangan akan mengalir, atau jika pulsa tidak mengijinkan untuk melakukan panggilan maka ketik saja SMS. Dan satu hal lagi, nikmatnya hidup di jaman modern dan serba canggih ini, ngobrol dengan teman dan atau sahabat itu bisa dilakukan lewat dunia maya, social media yang bertebaran di dunia maya dulu hanya dapat diakses dari komputer sekarang ada dalam genggaman hingga mudah bagi saya untuk menyapa teman dan sahabat dari jauh sekalipun.

Sekarang saya jelaskan mengapa teman dan sahabat itu asset penting bagi saya, saya adalah seorang yang malas belajar, namun saya sangat suka membaca buku (kecuali buku pelajaran) dan "menguping" obrolan orang-orang di sekitar saya. Bagi saya, selain pengetahuan melalui buku-buku, obrolan orang-orang di sekitar itu adalah pelajaran buat saya, sehingga ketika terlibat dalam suatu obrolan dengan teman-teman dan sahabat-sahabat saya maka saya akan belajar banyak dari mereka. Seakan-akan teman-teman dan sahabat-sahabat saya adalah mata dan telinga saya yang bisa berkeliling dunia dalam berbagai waktu, lalu kembali ketika sudah mengumpulkan banyak informasi. Oleh sebab itu saya benar-benar menganggap mereka sebagai asset penting, karena tanpa mereka sepertinya saya menjadi buta dan tidak tahu apa yang melanda dunia saat ini. Dan karena itu juga lah saya benar-benar menjaga tali persahabatan dan pertemanan saya agar tidak terputus, karena saya tak ingin pengetahuan saya akan dunia terputus juga.

Entah bagaimana dengan para teman dan sahabat di luar sana, satu kalimat yang ingin saya ucapkan, Salam Persahabatan :)

Monday, August 22, 2011

Pasar Malam


Macet,
Motor parkir menutup jalan,
Mereka hilir mudik,

Memangku anak diatas motor,
Membelikan permen,
Menghibur dengan permainan,
Menyanyikan lagu-lagu dangdut khas jalanan,
Mencoba bermacam pakaian yang dijual,
Mencicip jajanan pinggiran,

Tangisan,
Tertawa,
Teriak senang,
Riuh suasana,
Jalanan ditutup,

Pasar malam,
Dan kemeriahan di dalamnya....

Friday, August 19, 2011

Kita Berhasil !!

Seorang sahabat pernah bertanya pada saya, "Tujuan lo ngerubah pola makan lo apaan sih?". Sebentar saya terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya. Namun tampaknya apa yang saya ucapkan saat itu belum bisa mewakili apa yang ada di dalam hati saya. Seandainya saja sahabat saya itu saat ini membaca tulisan ini, tulisan sederhana yang bisa saya ungkapkan dengan lebih lugas perasaan saya sebenarnya. 

Saya sudah menikah kurang lebih 4 tahun. Saya amat menikmati perjalanan hari-hari kebersamaan saya bersama sahabat tak terpisahkan saya, walaupun tanpa seorang anak kecil yang mengiringi perjalanan itu. Saya tidak pernah berpikir banyak untuk memiliki seorang anak, hingga orang-orang di sekitar yang mulai meributkan dan bertanya-tanya segala hal soal anak. Awalnya tak satu pun pertanyaan itu yang mengganggu kehidupan saya dan suami, tapi lama kelamaan ratusan pertanyaan itu mulai mengganggu pikiran dan menguras energi serta kantong karena saya mulai mencari-cari dokter kandungan untuk meluluskan permintaan berlebihan dari mereka.

Sampai kemudian di satu titik saya mulai kehabisan kesabaran akan cobaan Sang Pemberi ini, saya mulai menyalahkan semua orang yang ada di sekitar saya termasuk suami. Saya menyalahkan karena ketidakberdayaannya dalam menangani masalah ini dan meredam semua omongan orang-orang di sekitar kami. Saya menyalahkan karena dia yang bermasalah, sedangkan saya tidak. Saya menyalahkannya atas segala hal yang terjadi. Menangis berpelukan dengan guling di dalam selimut saat malam hari menjadi kesenangan saya saat itu. Sampai kemudian saya bertemu seorang sahabat lain yang tinggal di negara yang amat jauh dari keluarga, dan ia begitu menikmati perjalanan kehidupannya yang hanya berdua dengan suami. 

Saya mulai berkaca, saya bertanya-tanya dalam hati saya, apa saja yang sudah saya lakukan untuk memiliki seorang anak? Jawabannya adalah, tidak ada! Saya hanya sibuk menyalahkan suami atas ketidaksanggupannya menyelesaikan masalah ini, namun saya tidak pernah mau melihatnya yang berupaya lebih keras dari saya untuk mewujudkan keinginan egois saya, memiliki seorang anak. Ia berusaha meminum semua vitamin dan supplement yang saya suguhkan di atas meja. Ia telan semua itu tanpa pernah bertanya apa saya sudah meminum semua vitamin serta supplement itu juga. Ia hanya tak ingin melihat saya meringkuk di dalam selimut bertemankan guling sambil menangis sejadi-jadinya tanpa mau mendengarkan saran-sarannya. Ia hanya ingin melihat saya tersenyum dan bahkan tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.

Sejak saat itu lah saya lalu mulai melakukan pencarian di berbagai media, mulai dari koran, majalah, buku kesehatan, googling, konsultasi dengan dokter kandungan, sharing dengan beberapa teman, sampai akhirnya saya menemukan hal baru. Keadaan fisik dan psikis seseorang bisa berdampak positif dan negatif untuk kehamilan. Saya mulai mendeteksi tubuh saya sendiri, kekurangan apa yang ada dalam diri saya yang perlu saya minimalisir agar bisa terjadi kehamilan. Saya mendapati kenyataan bahwa dalam historikal kesehatan keluarga saya ada yang berpenyakit jantung, kolesterol tinggi, darah tinggi, dan diabetes. Semua penyakit yang bisa menghambat kehamilan, bahkan jika sudah terjadi kehamilan maka akan membahayakan ibu dan bayinya. Saya mulai mencari tahu semua hal yang berkaitan dengan 4 penyakit berbahaya tersebut, dan kesimpulannya adalah saya yang harus memulai memperbaiki pola makan saya agar saya bisa meminimalkan resiko terkena 4 penyakit penghambat kehamilan.

Saya memaksakan diri saya untuk bangun lebih pagi di hari libur untuk berolah raga, mulai mengganti makanan yang biasa saya makan, lalu Sang Petunjuk mempertemukan saya dengan seorang sahabat lama yang ternyata bekerja sebagai konsultan kesehatan. Ini dia, pikir saya saat itu, saya akan memberanikan diri saya untuk menghubunginya dan mencoba berkonsultasi dengannya. Saya ingin dengar apa pendapatnya mengenai temuan-temuan saya ini. Hingga kemudian pertanyaan di awal cerita ini terlontar darinya. 

Sekarang saya dengan berani menjawab pertanyaannya, "Karena gue teramat sangat ingin punya anak dan gue ga bisa cuma ngerengek pertanggungjawaban dari suami gue doang untuk masalah ini, gue harus memulai dari diri gue sendiri dengan cara merubah semua pola makan dan hidup gue. Setelah impian gue terwujud, gue akan dengan bangga bilang ke suami gue, KITA BERHASIL!!".




Thursday, August 18, 2011

Cerpen 4 - Menanti

"Hai Mer, apa kabar?" tanganku yang masih terulur hanya ditatapnya, ia pun berlalu dari hadapanku. Berlalu tanpa membalas uluran tanganku, hanya terdengar suara desahan halus kesal sambil berlalu. Aku tertegun, hatiku hampa, ku tahan air mataku agar tak tumpah di pesta itu.

Tahun-tahun di bangku kuliah itu tak akan pernah aku lupakan. Aku dan Mery bagaikan 2 orang sahabat yang tak dapat dipisahkan. Di kampus aku akan ada di sebelah Mery, makan di kantin Mery akan duduk di sampingku, sampai di kamar kost pun kami masih asik mengerjakan tugas kuliah bersama-sama. Mery mulai mengenalkan teman-temannya padaku. Kami akan bersenda gurau bersama, merencanakan jalan-jalan selepas jam kuliah, membelanjakan uang jajan yang tersisa, memimpikan bertemu dengan pangeran impian. Lalu tak pernah kusangka persahabatan tahunan itu kandas oleh hal sepele.

6 tahun lalu Mery mengenalkanku pada Roy, seorang laki-laki yang dikenalnya dari seorang teman yang lain. Roy adalah seorang pengusaha muda dari kota Padang. Ia pernah bersekolah di luar negeri. Pengalamannya tinggal lama di negara rantau membuatnya pintar bergaul. Perawakan Roy tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang laki-laki, bajunya diseterika rapi disertai aroma wangi di sekujur tubuhnya, selalu mengenakan sepatu kets bersih dan tali-talinya diikat dengan baik, raut wajahnya selalu bersinar-sinar, bibirnya menyunggingkan senyuman khas, tak banyak bicara namun pengetahuannya tak diragukan lagi. Tiba-tiba saja Roy menjadi topik Mery setiap kali ia mendatangi kamar kost ku. Aku hanya menjadi pendengar yang baik sambil sesekali melontarkan godaan padanya. Aku tahu betapa inginnya Mery memiliki Roy menjadi pacarnya, walaupun aku tahu belum terjadi apa-apa dengan mereka berdua tapi aku sungguh berharap mereka akan berpacaran dan kemudian bisa menikah. Aku sungguh mengharapkan yang terbaik bagi sahabatku itu.

6 tahun lalu pula aku pergi ke Beijing untuk memperdalam bahasa China disana. Aku meninggalkan sahabat-sahabatku di Jakarta termasuk Mery dan segala cerita cintanya dengan Roy. Aku berjanji akan membawa pulang semua cerita mengenai kehidupan sekolah ku disana termasuk cerita cintaku. Kami kerap bertukar cerita melalui email dan facebook, Mery masih setia dengan cerita cintanya dengan Roy, masih belum ada kelanjutan yang berarti dari hubungan tanpa status itu. Roy masih terkesan tak menganggap Mery layaknya kekasih, ia hanya menganggap hubungan itu adalah hubungan pertemanan biasa saja. Mery tampak putus asa dengan tingkah laku Roy yang seakan-akan mempermainkannya saja. Aku sebagai sahabat harus terus memberikan semangat dengan berbagai cara. 

5 tahun lalu kakak ku akan mempersiapkan pernikahannya, aku akan dipanggil mami pulang ke Indonesia untuk membantu semua persiapan. Aku mencoba menawar ke mami, meminta ijinnya memperbolehkanku tinggal disana hingga tahun depan. Tahun itu aku tidak jadi kembali ke Jakarta, mami meluluskan permintaanku karena kakak ku menetapkan tanggal pernikahannya 2 tahun lagi.

4 tahun lalu aku harus kembali ke Jakarta, mami tak memberikan tawaran untukku memperpanjang masa belajarku lagi. Kakak ku memerlukan bantuan ku untuk persiapan pernikahannya. Aku mempersiapkan kepulanganku ke Jakarta. Aku packing semua baju-baju yang akan aku bawa. Merantau di negara 4 musim mengharuskan ku memiliki banyak sekali baju sehingga baju-baju itu perlu aku pilih mana yang akan dibawa kembali ke Jakarta dan mana yang akan ditinggalkan di Beijing. Aku akan kembali bertemu dengan para sahabatku termasuk Mery, yang kuharap akan mengenalkanku sekali lagi pada Roy sebagai pacarnya. Namun ternyata Mery belum melanjutkan hubungan tanpa status itu ke jenjang yang lebih tinggi. Ia masih setia diperkenalkan sebagai "teman". Sekali lagi aku bertemu Roy, kali ini ia meminta nomor ponsel ku.

3 tahun lalu aku mencoba menceritakan hal ini pada Mery, aku ungkapkan semua tentang kami. Aku tak mau Mery menganggapku sebagai penghianat. Aku tak pernah menyangka bahwa ketika Roy meminta nomor ponsel ku itu dia sedang penjajakan mencari seorang istri. Dan aku tak pernah tahu bahwa Roy mencantumkan namaku di daftar pencalonan istrinya. Selama beberapa tahun itu Roy berkeliling di seputar Mery, aku dan beberapa teman-temanku untuk memastikan siapa yang akan dipilihnya. Selama ini Roy memang hampir selalu melakukan hubungan jarak jauh dengan Mery, namun itu hanya sebatas pertemanan biasa saja. Menurutnya Mery sebagai seorang teman terlalu banyak menuntutnya melakukan ini dan itu, membuatnya menjadi jengah untuk melanjutkan hubungan pertemanan itu ke jenjang berikutnya. Ketika aku pulang ke Jakarta, Roy seperti mendapatkan pencerahan setelah lelah berputar-putar mencari alasan menghindari Mery. Roy aktif menelepon ku setiap malam, kami bercerita segala hal. Roy mencari-cari alasan agar bisa mengunjungiku setiap 2 minggu sekali. Roy rela terbang dari Padang hanya untuk berkeliling Jakarta dengan ku. Roy tak pernah memintaku menjadi pacarnya, tapi ia memintaku menjadi istrinya. Mery marah besar, baginya aku bagaikan musuh dalam selimut. Berani merebut laki-lakinya. Hubungan pertemanan kami terputus kemudian. Kandas karena hal sepele, laki-laki.

2 tahun lalu aku dan Roy mengikat janji di hadapan Tuhan, sebelum ikatan itu dikukuhkan sekali lagi aku menghubungi Mery, memintanya datang untuk mendoakan pernikahan ku dan Roy. Namun aku harus menelan kekecewaan lagi karena penolakan Mery. Tak satupun telepon, SMS, email, message di facebook yang dibalasnya. Aku sedih, tak tahu harus berbuat apa lagi agar Mery mau memaafkan kesalahan yang bukan aku inginkan terjadi. Aku minta bantuan Roy untuk membujuknya, Roy hanya berkata "Untuk apa kau terus mengejarnya, padahal ia sendiri tak mau kau kejar. Kau hanya menghabiskan energi dan waktumu saja. Biarlah kalau memang ia tak mau, tak perlu kau kejar lagi". Aku mencoba mencari pandangan lain dari kakak dan kakak ipar ku, mereka pun berkata yang sama dengan Roy. Maka dengan berat hati aku melepaskan persahabatanku dengan Mery dan melangkahkan kaki ke Altar pernikahan ku.

1 tahun lalu anak ku melihat dunia untuk pertama kalinya, ia melihat aku sebagai mamanya dan Roy sebagai papanya. Kehadiran anak ku membuatku semakin lupa dengan Mery, sampai kemudian aku mendapat kabar ia akan menikah. Sungguh senang aku mendengarnya. Aku mencari tahu tentang pernikahannya melalui beberapa teman kuliah ku dulu. Beberapa yang masih berhubungan baik dengan ku akan bercerita panjang lebar mengenai kehidupan Mery setelah aku dan Roy menikah. Aku senang Mery telah menemukan pasangannya. Sekali lagi aku akan mencoba menghubunginya, mudah-mudahan saja ia mau membalas sapaan ku dari dunia maya, mudah-mudahan ia sudah melupakan semua perdebatan kami.

Hari ini aku diundang ke pesta pernikahan seorang teman kuliah. Aku menggendong anak ku dan Roy berjalan di sebelahku. Dari kejauhan aku melihat Mery, ia masih seperti dulu, rambutnya masih panjang bergelombang, badannya masih langsing, kulitnya masih putih mulus, make up yang dipakainya masih sederhana, masih terlihat segar di mataku. Itu Mery yang ku kenal. Aku berjalan ke arahnya, dengan tersenyum aku hampiri ia, aku ulurkan tanganku sambil menyapanya, dan kemudian disinilah aku termangu karena ditinggalkannya dengan muka keras tanda tak senang. Roy menghampiri ku, memeluk ku, dan mengajakku menjauh, meninggalkan hingar bingar pesta malam itu.

Friday, July 29, 2011

Cerpen 3 - Aku, Dirimu, Dirinya

Ketika pertama kali aku dan kau ada dalam satu ruangan kosong itu, mungkin ketika itulah hati ini tertambat padamu. Ketika kutahu bahwa kau tak hanya ingin menjalin persahabatan biasa denganku, aku merasa melayang-layang dibuatmu. Suaramu yang berat dan tutur kata bahasamu yang halus, membuatku betah berlama-lama duduk mendengarkan segala celotehan yang kau keluarkan. Postur tubuhmu yang tinggi besar, membuatku nyaman berada di sampingmu. Perlindungan yang kau berikan saat semua orang mencemooh diriku yang tak mampu bergaul dengan yang lainnya, membuatku tak sanggup berpaling darimu. Tiba-tiba saja aku merasa seperti anak remaja 17 tahun yang jatuh cinta pada lawan jenisnya. Aku menjadi gila karena mu. Gila sejadi-jadinya. Aku selalu menantikan pertemuan-pertemuan denganmu selanjutnya. Setiap pagi menjelang, aku berdandan secantik mungkin agar kau bisa lekat menatapku. Aku menantikan layar ponsel ku berkedip-kedip menampilkan tulisan namamu diatasnya. Gatal rasanya jari-jari ini untuk tidak menekan tombol demi tombol dan mendengarkan suaramu di ujung telepon. Ponsel selalu kuletakkan di meja agar aku cepat membalas pesan singkat yang kau kirimkan. Ketika di ruangan itu tak kutemukan raga dirimu, rasanya satu hari yang kujalani seperti satu tahun lamanya. Aku begitu merindukan kehadiran dirimu setiap saat. Tak sanggup rasanya aku diam di ruangan kosong itu tanpa kulihat sosokmu setiap pagi menjelang.

Lalu hubungan ini mulai tercium oleh sekitar kita. Tercium oleh teman-temanmu dan teman-temanku, keluargamu dan keluargaku. Ibu ku yang sudah sepuh mulai mencari tahu apakah benar berita yang ia terima, anak perempuannya sekarang memiliki seseorang yang bisa melindunginya setiap saat. Ibu mulai bertanya-tanya padaku, siapa dirimu sebenarnya. Aku tak mampu menceritakan semuanya pada ibu, lidahku kelu kala ingin bercerita padanya. Ibu terus mendesakku untuk bercerita, aku selalu melarikan diri dari semua pertanyaannya. Bukan...bukan aku tak mau memperkenalkan dirimu pada ibu. Aku hanya belum siap memperkenalkan dirimu padanya. Sungguh aku tak sanggup melihat wajah ibu, tak sanggup melihat raut tuanya yang selalu menatapku heran karena pertanyaannya tak pernah kubalas dengan kata-kata, hanya senyuman yang mampu kuberikan padanya. "Nanti bu, nanti ibu akan tahu siapa dia", elakku.

Siang itu, ibu mengutus kakak iparku untuk menyelidiki tentang dirimu. Aku tak pernah tahu ibu memintanya melakukan hal itu. Kakak ipar yang begitu dekat dengan ibu mengabulkan segala keinginan ibu. Ia berkeliling ke semua tempat dan teman yang sering aku datangi, mencari tahu segalanya tentangmu. Ia kembali dan menceritakan dengan berat hati kepada ibu. Ibu begitu terkejut dengan ceritanya tentang dirimu. Ibu tak sanggup berkata-kata di depannya. Ibu terdiam. Kakak iparku terdiam. Sore itu aku dipanggilnya.

Ibu sudah tahu semuanya. Ibu sudah tahu bahwa kau sudah menikah. Ibu sudah tahu bahwa kau sudah memiliki seorang putra. Ibu sudah tahu bahwa istrimu sedang mengandung anak kedua. Ibu sudah tahu bahwa kau berselingkuh denganku. Ibu sudah tahu bahwa aku merebut suami orang. Ibu sudah tahu alasanku tak memperkenalkanmu. Ibu menangis. Ibu yang sudah renta itu menangis sesegukan, tak pernah menyangka putrinya memilih suami orang. Aku terduduk lemas, tertunduk tanpa kata, air panas mulai mengalir lembut perlahan keluar dari sudut-sudut mataku, semakin lama semakin deras seiring perjuangan ibu mengeluarkan segala emosinya. "Ibu tahu suamimu sudah meninggal nak, tapi bukan berarti kau mampu merebut seorang suami dan ayah. Kau pernah merasakan menjadi seorang istri, bagaimana perasaanmu bila suamimu direbut wanita lain nak? Kembalikan dia ke istri dan anak-anaknya. Jangan kau rebut lagi. Kembalikan dia!"

Dirinya...dirinya yang mengaku sebagai istrimu meneleponku. Perselingkuhan ini tercium olehnya. Dia melemparkan bertubi-tubi pertanyaan kepadaku. Aku marah padanya, harusnya sebagai seorang istri yang baik ia bisa menjagamu dengan benar, bukan lantas menerorku dengan segala pertanyaan-pertanyaan menyebalkan ini. Aku mengelak, menyangkal semua yang terjadi di antara kita. Dia tak percaya, dia hubungi semua kenalan kita. Dia tanyakan semua hal tentang kita. Aku takut, ketakutan mulai merajai diriku. Aku mencari-cari dirimu, aku harus mencari perlindungan darimu. Aku bingung, aku tak tahu harus kemana. Kau memintaku berulang kali mengganti nomor ponsel ku agar dia tak bisa mencariku lagi, tapi entah dari mana dia bisa mendapatkan lagi nomor-nomor baru itu. Aku semakin takut, takut menerima kemarahan seorang istri dan ibu dari anak-anakmu.

Mungkin benar kata ibu, aku harus melepaskan dirimu. Aku tak boleh merebut suami orang. Aku tak boleh memisahkan dirimu dari anak-anakmu. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, cinta ini membutakan mataku hingga pandanganku hanya terpaku pada dirimu seorang. Kau dan dirinya sudah tak bisa dipisahkan lagi kecuali oleh Sang Penyabut Nyawa. Aku yang berada di tengah-tengah antara dirimu dan dirinya, merelakan dirimu kembali padanya. Aku, dirimu, dirinya, tak akan pernah sadari hal ini pernah terjadi.


Tuesday, July 26, 2011

Cerpen 2 - Cinta Tak Harus Memiliki

Sejak pertama kali melihatmu, aku langsung menyukai raut wajahmu. Tulang pipi yang kokoh, rambut ikal gondrong yang selalu dikuncir kuda nan rapi, petikan gitar, aku suka segalanya tentangmu. Tak pernah berkenalan langsung denganmu, hanya ku lihat saja dari kejauhan. Kau selalu menempel dengan Rina, teman ku semasa SMU dulu. Dari gelagatmu aku tahu kau begitu tertarik dengan Rina. Rina yang pendiam, tak banyak bicara, cantik alami, berkulit putih bersih, dengan rambut panjangnya yang terurai sebahu, membuat banyak laki-laki yang mencoba menaklukannya. Aku tahu aku tak sebanding dengan Rina, hingga cukuplah bagiku melihat saja laki-laki penakluk hati ku ini dari jauh.

Hari-hari berlalu, berganti menjadi minggu-minggu yang bergulir & berbuah bulan-bulan yang semakin mempesona ku dengan keberadaanmu. Lalu tanpa kusadari bulan-bulan mulai merajut ikatan persahabatan ku denganmu melalui benang-benang halus tak terlihat yang semakin lama semakin tebal & kuat. Persahabatan, ya... aku ingin memulai hubungan ini dengan persahabatan, dan dari persahabatan ini aku mulai mengharapkan perasaan yang lebih darimu. Apalagi ketika kau mulai memberikan sinyal-sinyal belum ada yang memiliki, sama seperti diriku yang mendamba seseorang untuk berbagi segalanya. Sinyal-sinyal yang begitu memberikan harapan berlebih bagiku, sinyal-sinyal yang membuatku melayang menyentuh langit ke-tujuh.

Berjalan di lorong panjang bersama dengan teman-teman lain, kau akan berjalan di samping ku. Mencoba mengamit tanganku dengan berbagai alasan yang kau buat, ku coba untuk mengelak agar tatapan mata-mata tajam dari perempuan-perempuan sirik di depan ku tidak menghujam ku lebih dalam. Jari-jemarimu yang panjang dan agak kasar karena sering memetik gitar, mencoba meraih jari-jariku lebih jauh. Ku coba untuk mengelak lagi, namun wajahmu yang memelas memohon bantuanku untuk melepaskan diri dari para perempuan itu membuatku tak berdaya.
"Sampe ujung lorong aja ya Al. Ga enak nih diliatin orang banyak."
"Yahh... Masa segitu doang, sampe tempat duduk lah. Biar lo duduk sebelahan sama gue, ga mau lo? he-he-he..."
"Ha-ha-ha... Ngarep banget deh lo. Gue kan masih mau beres-beres di tempat lain. Lo kan ada rapat sama yang lain di ruang sebelah."
Rangkaian kata yang membuatku melayang, bolehkah aku berharap lebih dari persahabatan denganmu? Sungguh hati ini berbunga rasanya. Tak pernah kuharapkan sebelumnya kejadian macam begini akan terjadi diantara kita.

Siang itu aku duduk sendiri di meja panjang seksi acara sembari membaca jadwal acara berikutnya & mempersiapkan bahan, kau duduk disebelahku sambil memangku gitarmu. Duduk bersender di sebelahku sambil memetik gitarmu, entah lagu apa yang kau lantunkan di sebelahku, aku sungguh tak bisa berkonsentrasi penuh dibuatmu. Sambil memetik dawai-dawai itu sesekali kau menggoda dengan celetukan-celetukan yang membuatku tertawa lepas. Jantung ku berdegup dengan kencang, seperti mau lompat keluar dari sangkarnya. Dalam hati ku berdoa agar kau tak mendengar suara detak jantung yang begitu keras mengetuk-ngetuk dada ku. Begitu ku nikmati masa-masa menyenangkan ini, hingga sesaat kemudian seseorang berteriak memanggil namamu, memberitahukan kedatangan seseorang, seseorang yang ternyata dulu pernah singgah lama di hatimu, seseorang yang tak mudah kau lupakan begitu saja keberadaannya, seseorang yang sungguh memikat hatimu.

Kau bergerak perlahan, berdiri, menitipkan gitar di samping ku, berjalan cepat menghampiri perempuan yang aku tahu begitu kau rindukan, meninggalkan ku duduk termangu sendirian. Tertunduk lemas ku kau buat, ku coba 'tuk tetap membaca jadwal acara yang tergeletak di depan mata ku, seolah ia hendak berkata, "Rasain, siapa suruh main-main sama dia terus. Kita masih ada kerjaan yang belum beres nih, buruan gue dibaca & cari bahan sana."

Ah, anak-anak peserta acara ini sudah masuk aula, aku sudah harus selesai mengatur degup jantung yang berdetak tak beraturan ini. Dari ekor mata ku lihat kau berjalan kembali ke arah ku, menghampiri gitar yang berdiri tegap di samping ku. Kau tersenyum pada ku sambil memberiku semangat untuk memulai acara. Andai kau tahu, betapa hati ini cemburu karena perempuan itu. Wajah ku terlanjur menunjukkan raut tak senang akan kedatangannya. Ucapan semangatmu tak ku gubris sama sekali. Ku tinggalkan kau duduk disana ditemani gitarmu, biarlah kau kebingungan dengan sikap ku, seperti aku yang kebingungan karena sikapmu tadi.

Detik-detik berlalu, menit-menit meniti waktu bergulir menjadi jam demi jam, aku mulai melupakan persoalan siang itu, terutama ketika kau mulai mengeluarkan jurus-jurus maut rayuanmu padaku. Kau petik dawai-dawai gitar itu dan mulai bernyanyi-nyanyi bersama yang lainnya, namun matamu seolah menggodaku dari jarak jauh. Tak kuasa akhirnya aku tertawa lepas bersama yang lainnya. Sungguh ku tak bisa berlama-lama melepaskan mata ini dari dirimu. Ingin rasanya aku berlari menghampirimu dan langsung memelukmu seraya berteriak lantang ke seantero dunia menyatakan bahwa kau milikku, namun aku masih sadar, kau belum menjadi milikku, milikku seutuhnya.

Lepas dari acara itu berulang kali kau mengajakku pergi dengan Rano sebagai teman jalan kita, Rano yang menjadi saksi bagaimana perjalanan "persahabatan" kita yang teramat panjang dan menyenangkan ini. Kita bertiga akan "nongkrong bareng" di Taman Suropati, menikmati malam-malam hanya dengan nasi goreng gila & teh botol. Bertiga kita tertawa bersama, membahas berbagai hal di sekitar kita. Atau masih ingat kah kau ketika kita bertiga pergi tengah malam makan roti bakar di dekat rumah ku? Semakin tertanam kuat di dalam diriku, kau memiliki perasaan yang sama persis denganku, aku kembali melayang mengitari langit, seorang Superman pun akan kalah cepat denganku untuk terbang ke langit itu.

Lalu suatu berita menghantam ku dengan keras, seorang teman memberitahukan ku, kau sudah memiliki seorang yang istimewa di hatimu. Seseorang yang sudah sangat mengerti dirimu. Seseorang yang sudah selama 2 tahun ini menemanimu di kampus setiap siang. Seseorang yang tak kan mungkin aku saingi. Suatu kenyataan yang membuat ku begitu bingung. Bingung akan setiap tingkah laku mu kepadaku. Bingung akan ketidakjelasan pengharapan ini. Bingung akan keberadaanmu yang begitu kuat terpatri di dalam kepala ku. Bingung aku sejadi-jadinya. Langsung ku teringat pada Rano. Ku cari tahu semua hal itu dari Rano, kutanyakan sejelas-jelasnya dari dirinya, sebagai seorang sahabat tak mungkin Rano tak tahu sama sekali mengenai seseorang istimewa di hatimu itu. Rano pasti tahu hal ini, hanya saja Rano tak ingin memberi tahuku secara tersurat, sepertinya ia tahu betul perasaan ku pada mu.

Aku yang tahu tak kan mungkin bagi ku 'tuk menyaingi perempuan istimewa itu memilih 'tuk menghindar, & menjadikan diri mu tak lebih dari seorang sahabat baik bagiku. Aku mulai menutup pintu hati ini dari dirimu, walaupun perlakuan ku pada mu tak berubah, masih seperti ketika belum ku ketahui mengenai seseorang istimewa itu. Tak mudah bagiku untuk melupakanmu begitu saja, namun prinsip hidup ku harus kutepati, aku tak kan ingin menggangu milik orang lain sama seperti halnya aku tak ingin milikku diganggu oleh orang lain. Aku ingin mulai membuka pintu hati ini untuk seorang istimewa lainnya. Cukup bagiku untuk merasakan bahagianya bersenda gurau bersama dirimu, seorang yang sangat berarti bagiku di masa lalu & akan terus berarti di masa depan.

Sunday, July 24, 2011

Cerpen 1 - Andai Ia Tahu

Terhenyak ku dibuatnya, dihadapanku ia berdiri bersama seorang laki-laki tak ku kenal. Perempuan yang selama kurang lebih 6 bulan ini berusaha ku dekati. Perempuan tinggi, berkulit putih dengan rambut pendek ala Demi Moore, senyum tak pernah lepas disunggingkannya. Sungguh ku terpesona dengannya.
Namun saat itu dengan riangnya dia kenalkan,
"Al, kenalin, ini cowok gue".
Sesaat aku terdiam membisu & membeku, wajah cantiknya menari-nari di mataku, senyumannya menusuk jantungku sampai tak bisa berkedip menatapnya, sampai kemudian Anom & Yosi menyikutku,
"Woi...diajak salaman tuh".
Aku tersadar, mengulurkan tanganku tuk bersalaman dengannya.
"Hai, Aldo".
Singkat, aku tak mau berpanjang lebar dengan laki-laki ini. Dia pun hanya membalas,
"Hai, gue Harry".
Mereka duduk persis di bangku depan ku, Anom, & Yosi. Aku bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka berkenalan? Dimana mereka kenalan? Sudah berapa lama mereka pacaran? Semua berputar di kepalaku, membuatku tak dapat berkonsentrasi mendengar homili Pastor di depan. Anom & Yosi yang tahu jelas perasaanku saat itu seakan menemukan kesempatan menggodaku. Ketika bahu mereka bersentuhan, ingin aku hampiri & berteriak di hadapan laki-laki jahanam itu,
"Hei, jauhkan dirimu dari wanitaku".
 Namun aku cukup tahu diri untuk tetap diam di tempat duduk ku. Mengintip sesekali melalui kaca pintu samping gereja. Berusaha menahan kepalaku menunduk agar tak selalu melihat mereka berduaan. Semakin panas hatiku, semakin Anom & Yosi menggodaku,
"Wah...Al, disenggol mulu bahunya. Sengaja duduknya rapet-rapet tuh, biar bisa senggol-senggolan. Kalo gue jadi lo sih udah gue tonjok tuh hi-hi-hi...".
Panas ku dibuat mereka, tapi aku hanya bisa tersenyum tak berdaya. Tak mampu aku duduk berlama-lama disini menatap mereka yang duduk berduaan di depanku memamerkan kemesraan. Sebelum misa minggu pagi usai, aku langsung pergi meninggalkan Anom & Yosi, mencari-cari alasan yang masuk akal untuk kuutarakan ke mereka. Anom & Yosi hanya tersenyum geli, seakan mengerti itu hanya alasan palsu yang ku karang barusan. Ku pacu motor ku, ku paksakan ia  melaju lebih cepat. Tak sabar ingin kutumpahkan perasaan kacau ini pada Rano, sahabat ku. Ingin ku ceritakan bagaimana terbakarnya hati ini, terbakar cemburu, cemburu gila, gila tak tertolong.

Rano di seberang telepon siang itu terbingung-bingung, berusaha sebisanya untuk mengerem hujanan celoteh tak karuan yang aku semburkan kepadanya. Hanya sesekali ku terhenti untuk mengambil jeda sesaat mengatur nafas yang memburu di dada. Rano seakan mengerti luapan ketidaksenangan sahabatnya tak akan bisa dia hentikan dengan segera. Pasrah saja ia menerima semuanya. Sampai akhirnya ku terhenti sendiri karena kehilangan kata-kata makian.

Seminggu berlalu, siang ini rapat panitia pelaksanaan acara penerimaan anggota baru akan dilangsungkan. Jantungku berdetak kencang, berharap hari ini bisa menemui perempuan cantik yang selalu menggoda mataku. Walaupun aku masih teringat laki-laki yang bersamanya, namun tawa riang & celetukan-celetukan ringan yang selalu dilemparkannya padaku membuat ku tak mampu melepaskannya begitu saja. Ah, benar saja, ia datang. Seperti biasa, selesai rapat panitia kami semua tak langsung pulang, kami semua lebih senang menghabiskan waktu bersama, menyanyi bersama, melemparkan candaan-candaan seputar kami, berbagi cerita bersama, namun siang itu ku tak mampu bercerita banyak padanya saat ia bertanya kenapa minggu lalu saat kita bertemu, aku malah pulang duluan meninggalkan ia tanpa pamitan. Pertanyaannya itu ku jawab dengan ketus,
"Ahh...ga asik main sama lo sekarang. Ayo No, kita pergi aja".
Aku menarik tangan Rano yang berdiri di sebelahku. Rano yang sudah siap mengantisipasi keadaan itu langsung menghindari tanganku, hingga aku hanya menangkap angin. Aku berlalu dari mereka berdua, ku berjalan perlahan sambil memasang kuping lebar-lebar. Aku ingin menangkap pembicaraan mereka berdua dengan baik.
"Aldo kenapa sih No? Emang gue salah apa sama dia? Kok dari minggu lalu dia marah-marah mulu ke gue sih? Ga ngerti deh gue..."
"Lo uda punya cowok ya Fan?"
"Iya, trus kenapa kalo gue uda punya cowok? Emang disini dilarang pacaran?"
"Ooo...uda punya cowok toh, he-he-he... Ga apa-apa sih. Udah, ga usa lo pikirin si Aldo, ntar juga baek sendiri kok dia. Jadi lo uda punya cowok ya..."
"Iya Ranoooo.... Gue uda punya cowok. Mesti berapa kali sih gue jawab pertanyaan lo, sedangkan lo aja ga jawab-jawab pertanyaan gue. Ada masalah apa sih sama cowok gue? Gue bener-bener ga ngerti deh sama lo berdua..."
Sengaja ku berbalik & berteriak memanggil Rano, maksud hati ku ingin melihat raut wajahnya. Ah, ku menyesal telah melihatnya, raut wajahnya terluka, seperti menahan tangis karena perbuatanku & Rano. Hatiku ikut merasa perih.

Malam ini, malam ini akan ku utarakan semua padanya. Akan ku beritahukan ia alasan aku & Rano bersikap seperti itu hari itu. Akan ku ceritakan ia bagaimana ku menahan perasaan ini. Akan ku tunggu reaksi berikutnya darinya. Ku mantapkan hati, menenangkan diri, mengatur nafas, mempersiapkan awal pembicaraan dengannya. Ku angkat gagang telepon, menekan nomor-nomor yang telah ku hafal, menunggu panggilan itu dijawab di seberang sana.
"Halo..."
"Halo... Bisa bicara dengan Fanny?"
"Iya... Aldo ya? Akhirnya lo mau ngomong juga sama gue, he-he-he... Ada apa Al?"
Ah, suara merdunya membekukan lidah ku.
"Eh, lo sendiri yang ngangkat ya, he-he-he... Iseng aja telepon lo, udah lama ga gangguin lo nih he-he-he... Lagi ngapain lo?" 
"Yeeyyy.... Nelepon cuma buat iseng doang, nyesel deh gue ngangkat telepon lu. Bilang aja lu kangen sama gue, ya kan? ha-ha-ha..."
Tawa renyahnya membuatku bingung, bagaimana ia tahu ku begitu merindukan tawa itu bergema di dalam diriku.
"Nah kan, Pe-De lo seabrek banget deh Fan... Tapiii... Gue emang kangen sama lo sih"
"Wuahhh...ngaku juga dia akhirnya ha-ha-ha... Ternyata gue ngangenin juga ya Al, ha-ha-ha..."
Sekali lagi aku memantapkan hati ini, menenangkan diri, mengatur nafas, mencari kata-kata yang tepat untuk mengutarakannya. Malam ini aku harus berhasil meraihnya.
"Ehmm... Fan, sebenernya gue mau ngomong jujur ke lo. Gue suka sama lo, suka yang bener-bener suka antara cowok ke cewek, bukan suka dalam artian temenan. Lo mau ga sama gue?"
"Ha-ha-ha... Lo pasti bercanda kan Al? Gue kan uda punya cowok Al, kan 2 minggu yang lalu uda pernah gue kenalin ke lo. Lupa lo ya?"
"Gue serius Fan, gue bener-bener suka sama lo. Kok lo ga percaya sih?"
"....."
Jeda. Diam. Sunyi. Senyap. Tak bersuara. Detak jantungku berdebar dengan kencang, seperti mau lompat keluar dari sarangnya.
"Gue ga tau mesti ngomong apa ke lo sekarang. Besok pagi selesai rapat panitia aja kita ngobrol lagi"
Malam itu tak bisa tidur ku dibuatnya. Ingin ku panggil Sang Empunya Pagi untuk muncul lebih cepat dari biasa. Tak sabar aku ingin bertemu dengannya.

Pagi ini, pagi yang mendebarkan. Aku mematut-matutkan diriku di kaca, berusaha memberikan tampilan terbaik yang ku miliki. Ku pacu motor perlahan-lahan sembari merilekskan semua urat-urat di tubuh ku agar tak kelihatan tegang saat bertemu dengannya. Itu dia, berdiri di samping pintu gerbang, tertawa-tawa bersama yang lainnya. Cantik. Cantik sekali ia hari ini.
"Oi... Lagi pada ngapain mejeng disini? Uda mau mulai tuh rapatnya"
Perempuan cantik ini menoleh kepadaku, memiringkan sedikit kepalanya seperti keheranan melihatku yang  terlambat datang. Andai ia tahu, malam tadi tak bisa tidur ku dibuatnya.
Aku memaksa ketua panitia untuk menyelesaikan rapat secepatnya. Sungguh tak sabar menanti jawabannya siang ini. Gelisah ku dibuatnya. Ketika rapat usai, langsung ku melesat keluar duluan, berpura-pura ke WC, menunggunya di depan pintu gerbang. Rano terheran-heran melihat tingkah ku. Belum ku ceritakan padanya masalah ini. Nanti No, nanti pasti ku ceritakan padamu.
"Fan, mau pulang? Bareng gue yuk... Gue anter pake motor biar cepet, lagian kan rumah kita deketan. Yukk... "
Tampaknya ia ragu-ragu menjawab ajakan ku.
"Al, kalo boleh gue tahu, kenapa baru sekarang lo bilang ke gue, lo suka sama gue. Kenapa ga dari dulu, ketika gue belom ada cowok yang berdiri di samping gue?"
" Ehmm... Karena baru sekarang gue sadar, gue ga mau kehilangan lo"
"(Desahan halus terdengar) Jujur aja ya Al, dulu sebelum cowok gue deketin gue, gue uda suka sama lo. Perhatian lo, candaan lo, petikan gitar lo, gaya lo, semua yang ada di lo itu gue suka. Apalagi setiap kali kita ngumpul lo cuma mau duduk di sebelah gue, itu bikin gue tambah seneng sama lo. Trus lo juga selalu bilang, kita semua yang ada disini tuh jomblo, itu bikin gue berharap sama lo. Sampai satu ketika, gue tahu dari Rano dan yang lainnya, bahwa lo uda punya cewek & jalan lebih dari 2 tahun. Itu yang buat gue langsung berhenti ngelihat lo sebagai cowok yang gue suka, sekaligus berhenti berharap lo akan membalas perasaan gue. Gue punya prinsip yang ga akan gue langgar sendiri Al, gue ga mau ganggu milik orang lain karena gue juga ga mau milik gue diganggu oleh orang lain. Jadi Al, tanpa perlu gue jawab secara jelas harusnya lo uda tau apa maksud gue ngomong gini ke lo"
"Gue pulang sendiri juga ga apa kok Al, gue tahu siang ini lo mesti jemput cewek lo buat jalan."

Terpana, terpana aku mendengar penjelasannya. Terpukul, rahasia kecil yang selalu kusembunyikan darinya akhirnya terbongkar juga. Rahasia yang kusimpan agar aku bisa terus duduk di sampingnya, menggandeng tangannya ketika berdoa bersama, menyanyi bersama dengannya, berjalan beriringan disampingnya.
Ia terus berjalan, meninggalkan ku yang berdiri terdiam tak bisa bergerak olehnya. Ku pandangi punggungnya yang terus bergerak menjauhiku. Seandainya ia tahu, hubungan ku dengan perempuan lain itu sudah diambang kehancuran. Seandainya aku tak terlambat memutuskan hubungan ku dengan perempuan lain yang disebutnya itu. Seandainya aku tak terlambat mengutarakan semua perasaan ku sebelum didahului laki-laki itu. Aku menyesal, sungguh menyesal karena terlambat.

Tuesday, June 14, 2011

Permainan Masa Kecil

Mengamati beberapa sepupu kecil dan keponakan-keponakan yang sedang senang-senangnya bermain video game, saya jadi teringat masa kecil saya. Tinggal jauh dari kedua orang tua, dan "dipaksa" tinggal bersama seorang Oma, 2 orang om, serta 4 orang tante membuat saya merasa bahwa masa kecil saya lebih beragam ketimbang anak-anak lainnya. Saya diharuskan hidup lebih tegar dari kecil, tidak mudah menangis ketika jatuh atau dijahati oleh anak-anak lainnya. Saya "dipaksa" untuk hidup lebih mandiri dari kecil, karena tidak setiap saat Oma bisa menemani saya bermain & belajar. Namun bukan berarti bahwa Om maupun Tante saya tidak memperhatikan kebutuhan saya. Mereka memenuhi keinginan mewah seorang anak kecil di jaman dulu, yaitu sepeda.
Sepulang sekolah, saya berlekas makan siang lalu menonton televisi sejenak, dan ketika sore menjelang biasanya saya akan bersiap mengeluarkan sepeda kecil beroda 4 dan meng-gowes-nya keliling komplek perumahan yang sangat luas. Sesekali saya menghampiri anak-anak tetangga sebelah rumah untuk bersama saya meng-gowes sepedanya, & tak jarang juga mereka yang menghampiri rumah saya. Kami akan berteriak memanggil nama-nama mereka, & tak lama keluarlah sepeda-sepeda kecil itu. Kebanyakan dari mereka sudah bisa meng-gowes sepeda roda 2 dan sepedanya lebih tinggi dan besar dari milik saya. Berkeliling komplek dari pukul 4 sore hingga beduk maghrib mengundang shalat, bersenda gurau, sambil sesekali beristirahat di pohon-pohon besar yang tertanam di taman-taman dengan menikmati tiupan angin sore, rasanya sungguh kenikmatan yang susah didapat sekarang ini.
Ketika kaki ini mulai lelah meng-gowes pedal sepeda itu, kami akan berhenti di suatu lapangan bermain & mulai memainkan permainan lainnya, seperti lompat karet, 'tak benteng, 'tak umpet, 'tak jongkok (entah mengapa semua permainan itu dimulai dengan kata 'tak), perosotan, panjat tangga, atau sekedar berlari-lari saja di lapangan itu sampai akhirnya bedug maghrib berkumandang dan para orang tua menghampiri, berteriak memanggil kami semua untuk masuk ke dalam rumah.
Seingat saya, saya pernah terjatuh dan kaki saya penuh luka karena roda bantuan di samping belakang sepeda saya mulai bengkok dan aus lalu patah ketika saya paksakan ia untuk terus berlari mengikuti keinginan saya. Tanpa saya sadari ternyata roda tersebut tak mampu lagi mengikuti kemauan saya, lalu terhempas dan membuat sepeda tersebut oleng kemudian saya pun terjatuh dengan kaki menghantam aspal. Terpaksa saya berjalan kaki dengan menuntun sepeda itu sampai ke rumah, memohon ke Oma agar memperbaiki sepeda tersebut. Namun bukannya keinginan saya itu dipenuhi oleh Oma, melainkan ia mencabut 2 roda samping belakang yang dimaksudkan untuk membantu saya tetap seimbang ketika meng-gowes sepeda itu. Saya terpaku sesaat, rasa takut berkeliaran di kepala, was-was mengikuti dibelakangnya, keringat mengalir deras, detak jantung berlari lebih cepat, dan sepeda itu dengan pongahnya berdiri di depan saya, seakan menantang adrenalin. Sesaat kemudian Oma berkata, "mainlah dengan sepedamu". Bagaimana mungkin saya bisa mengendarai sepeda tanpa ada roda bantuan di samping belakangnya? Beberapa teman sudah berteriak-teriak tak sabar di depan pagar, menantikan kehadiran saya yang sudah terlalu lama mematung memandangi sepeda itu. Akhirnya saya kuatkan juga hati ini untuk mengeluarkan sepeda itu dari pagar rumah dan mulai meng-gowes-nya perlahan, tertinggal jauh dari teman-teman lainnya yang sudah terbiasa meng-gowes sepeda roda 2. Berhati-hati sekali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh dan luka kaki yang belum kering ini kembali menyerang aspal. Ah....ternyata saya bisa menyeimbangkannya, berusaha mengejar teman-teman lainnya di depan sana, tertawa bersama yang lainnya sambil dibelai angin sore, sungguh menyenangkan rasanya.
Pernah juga karena terlalu bersemangat bermain perosotan di taman, celana pendek yang saya pakai robek di bagian belakangnya. Sampai kemudian saya & teman-teman tertawa-tawa mendapati celana pendek kami semua robek di bagian yang sama. Pulang ke rumah, Oma mendapati celana saya robek dan bertanya-tanya, namun saya acuhkan, saya hanya pulang untuk berganti celana pendek dan bermain perosotan lagi untuk mendapati robekan di tempat yang sama, hingga kemudian pelototan mata Oma melarang saya untuk bermain di perosotan itu lagi. Tapi seorang anak kecil tetaplah anak-anak yang gemar bermain, saya akan pergi bermain perosotan itu tanpa sepengetahuan Oma, lalu mulai mencari cara dengan mengalasi bagian belakang dengan kardus bekas. Dan, hei...ternyata celana pendek itu tidak robek! Saya menemukan cara lain agar saya bisa tetap bersenang-senang tanpa perlu khawatir Oma akan memarahi saya karena pulang dengan celana pendek yang robek di belakangnya.
Hal-hal kecil dari permainan masa kecil itu membuat saya lebih mandiri karena ketika terjatuh harus berdiri sendiri & berjalan pulang sendiri dengan menahan rasa sakit itu karena kesalahan diri sendiri, lebih kreatif karena "dipaksa" untuk berpikir cepat dan pandai berkelit ketika bertemu dengan anak-anak kampung sebelah yang memaksa untuk memiliki sepeda saya, & lebih sehat karena saya bermain di alam & berlari bebas mengejar angin, daripada anak-anak jaman sekarang yang terkurung di depan tabung monitor televisi & komputer. Sibuk berkutat dengan dunia maya & video game, di dalam kamarnya masing-masing.
Bagaimana permainan masa kecilmu? Mari kita berbagi cerita agar anak-anak masa depan pun bisa merasakan serunya permainan masa kecil yang lebih menyehatkan.

Saturday, April 16, 2011

Hidup di Jaman Modern

Enaknya hidup di jaman yang serba canggih sekarang ini, hampir semua kegiatan bisa dipantau melalui satu perangkat kecil saja bernama smart phone. Smart phone ini ada yang bernama Blackberry, Iphone, & handphone Andorid. Dengan smart phone kecil iti saya bisa memantau berbagai hal mulai dari masalah serius hingga masalah ringan seperti koneksi hubungan pribadi dengan teman-teman sekolah melalui situs-situs pertemanan macam facebook & twitter (bagi saya cukuplah 2 situs pertemanan ini, terlalu banyak malah tidak bisa saya pantau dengan maksimal). Biasanya melalui smart phone saya membaca perkembangan politik, bursa saham dunia, harga emas dunia, kolom gosip, update status, mengamati jalanan Jakarta tercinta yang tak pernah lepas dari kemacetan, kecelakaan, tawuran warga, dan sekarang saya mulai menikmati "mainan" baru saya di smart phone ini yaitu menulis blog. Setelah hampir 2 tahun saya menggunakan smart phone ini, baru saya temukan aplikasi yang bisa saya gunakan untuk ngeblog tanpa PC atau notebook, cukup dengan smart phone ini saja. Namun terkadang cukup melelahkan juga mengetik blog di layar, keypad, serta tulisan yang jauh lebih kecil ketimbang PC atau notebook. Sampai pegal jempol ini dipakai mengetik di tombol huruf yang kecil-kecil untuk membuat satu artikel saja, namun kepuasan yang didapat setelah artikel itu selesai membuat jempol ini bergerak lebih cepat dari kemampuan otak saya berpikir apalagi yang perlu saya tumpahkan. Dengan smart phone kecil di tangan, jempol yang sudah siap bergerak dengan suruhan otak kecil & ditemani segelas green tea latte di gerai kopi dengan tempat duduk nyaman serta tak ada yang mengganggu, membuat satu artikel hanya dalam hitungan menit saja bisa selesai selama green tea latte yang tersedia di atas meja ini belum habis saya hirup semuanya. Sungguh menyenangkan ketika menemukan suatu "mainan" baru yang bisa membuai saya jauh ke dalam alam pikiran saya sendiri tanpa ada yang mengusik atau mengatur. Lalu ketika jempol ini pegal & mata mulai lelah dengan ketikan di layar kecil ini, saya mulai berpikir untuk membeli sebuah tablet untuk mempermudah saya ngeblog. Ah, hidup di jaman serba teknologi canggih ini membuat saya semakin konsumtif & bergaya hidup mewah. Mungkin untuk sementara ini saya perlu bertahan dengan layar kecil ini dulu hingga saya menemukan satu penerbit buku yang ingin menerbitkan blog saya ini & membayar royalti cukup besar hingga layak saya katakan bahwa saya memerlukan satu perangkat modern macam tablet untuk mempermudah saya menulis blog.

Friday, April 15, 2011

Kicau Kacau

Judul diatas sebenarnya saya ambil dari catatan kaki seorang entertainer sekaligus penulis, Indra Herlambang. Catatan-catatan kaki seorang Indra Herlambang itu membuat saya ingin kembali menekuni bidang tulis menulis yang sudah saya tinggalkan cukup lama. Terakhir saya menulis di suatu situs pertemanan yang sedang akrab-akrabnya diperbincangkan hampir semua kalangan manusia se-Indonesia Raya ini, facebook. Beberapa dari tulisan tersebut memang terinspirasi kehidupan saya sehari-hari. Kehidupan yang saya jalani dengan mengamati berbagai perilaku di sekitar saya. Seperti sekarang ini, ada seorang operator telepon di kantor saya yang baru belakangan ini saya perhatikan ternyata mulai merubah penampilannya bagaikan tak mau kalah dengan para staf kantor yang kerap bertemu dengan klien. Pertama-tama dia merubah tatanan rambutnya yang dulu seperti rambut jagung, kuning di hampir tiap helai rambutnya, ujung rambut yang patah-patah bercabang (walaupun saat itu saya sudah beranggapan bahwa rambutnya itu sebenarnya cukup tertata rapi), berganti dengan rambut halus tertata rapi lurus tanpa ujung-ujung yang patah bercabang. Sengaja dia pergi ke salon yang lebih bagus untuk merubah tatanan rambutnya yang tak beraturan itu. Lalu dia mulai menggunakan mascara sehingga bulu matanya terlihat melengkung lentik mengalahkan bulu mata Diva terkenal Krisdayanti. Tak lama kemudian dia mulai melengkapi dirinya, yang semula bersepatu datar lalu berganti dengan sandal jepit kantor untuk mempermudah gerakannya dari lantai 1 ke lantai 2, dengan sepatu-sepatu berhak 3-5 cm hingga ketika dia berjalan akan terdengar suara tak..tok..tak..tok..macam pegawai kantoran elit di gedung-gedung tinggi daerah Sudirman-Thamrin. Kini dengan gayanya yang lebih mentereng ketimbang dulu membuat beberapa staf kantor meledeknya, "Duh, bulu matanya bisa buat cantelan tas tuh", atau "Cieee..rambutnya lempeng amat". Kemudian kemeja yang dikenakannya mulai dimasukkan ke dalam celana panjang tanpa ada yang dikeluarkannya sedikit pun, ikat pinggang berbagai model & warna bergantian dililitkan di celana panjangnya. Penampilannya sekarang sudah mulai menyamai pegawai kantoran elit di kawasan Sudirman-Thamrin. Saya tidak bermaksud memandang rendah status operator itu tadi, namun ada beberapa hal yang menurut saya kurang perlu diterapkannya hingga mengubah hampir keseluruhan dirinya. Pertama, kantor saya bukan berada di kawasan elit Sudirman-Thamrin atau gedung-gedung elit lainnya namun hanya berupa satu gedung sederhana di daerah perumahan padat dimana para karyawannya berpakaian kemeja, celana panjang bahan kain serta sepatu/sandal berhak yang akan dilepas ketika sudah sampai di kantor berganti dengan sandal jepit untuk memudahkan wara-wiri di sekitar kantor, sehingga menurut saya tak perlulah si operator ini berpakaian macam pegawai kantoran elit Sudirman-Thamrin. Kedua, kantor saya tidak terlalu banyak didatangi tamu-tamu penting sehingga menurut saya cukuplah untuk sang operator ini berdandan ala kadarnya, menyapu bedak di seluruh muka serta mengoles lipstik di bibir tipisnya secukupnya saja. Ketiga, menurut saya mungkin lebih baik dia merubah tingkah pola lakunya sehingga bisa menarik simpati orang, ketimbang sekarang yang lebih sering menerima telepon dengan muka masam serta suara ketus diiringi dengan pernyataan tanpa basa basi untuk menutup panggilan tersebut. Terlepas dari semua kelebihan & kekurangannya, saya cukup merasa terhibur dengan penampilannya sekarang. Suasana kantor menjadi lebih meriah karena banyak celetukan yang dilemparkan untuknya, sehingga cukuplah hiburan menarik di kantor kecil ini.