Friday, July 29, 2011

Cerpen 3 - Aku, Dirimu, Dirinya

Ketika pertama kali aku dan kau ada dalam satu ruangan kosong itu, mungkin ketika itulah hati ini tertambat padamu. Ketika kutahu bahwa kau tak hanya ingin menjalin persahabatan biasa denganku, aku merasa melayang-layang dibuatmu. Suaramu yang berat dan tutur kata bahasamu yang halus, membuatku betah berlama-lama duduk mendengarkan segala celotehan yang kau keluarkan. Postur tubuhmu yang tinggi besar, membuatku nyaman berada di sampingmu. Perlindungan yang kau berikan saat semua orang mencemooh diriku yang tak mampu bergaul dengan yang lainnya, membuatku tak sanggup berpaling darimu. Tiba-tiba saja aku merasa seperti anak remaja 17 tahun yang jatuh cinta pada lawan jenisnya. Aku menjadi gila karena mu. Gila sejadi-jadinya. Aku selalu menantikan pertemuan-pertemuan denganmu selanjutnya. Setiap pagi menjelang, aku berdandan secantik mungkin agar kau bisa lekat menatapku. Aku menantikan layar ponsel ku berkedip-kedip menampilkan tulisan namamu diatasnya. Gatal rasanya jari-jari ini untuk tidak menekan tombol demi tombol dan mendengarkan suaramu di ujung telepon. Ponsel selalu kuletakkan di meja agar aku cepat membalas pesan singkat yang kau kirimkan. Ketika di ruangan itu tak kutemukan raga dirimu, rasanya satu hari yang kujalani seperti satu tahun lamanya. Aku begitu merindukan kehadiran dirimu setiap saat. Tak sanggup rasanya aku diam di ruangan kosong itu tanpa kulihat sosokmu setiap pagi menjelang.

Lalu hubungan ini mulai tercium oleh sekitar kita. Tercium oleh teman-temanmu dan teman-temanku, keluargamu dan keluargaku. Ibu ku yang sudah sepuh mulai mencari tahu apakah benar berita yang ia terima, anak perempuannya sekarang memiliki seseorang yang bisa melindunginya setiap saat. Ibu mulai bertanya-tanya padaku, siapa dirimu sebenarnya. Aku tak mampu menceritakan semuanya pada ibu, lidahku kelu kala ingin bercerita padanya. Ibu terus mendesakku untuk bercerita, aku selalu melarikan diri dari semua pertanyaannya. Bukan...bukan aku tak mau memperkenalkan dirimu pada ibu. Aku hanya belum siap memperkenalkan dirimu padanya. Sungguh aku tak sanggup melihat wajah ibu, tak sanggup melihat raut tuanya yang selalu menatapku heran karena pertanyaannya tak pernah kubalas dengan kata-kata, hanya senyuman yang mampu kuberikan padanya. "Nanti bu, nanti ibu akan tahu siapa dia", elakku.

Siang itu, ibu mengutus kakak iparku untuk menyelidiki tentang dirimu. Aku tak pernah tahu ibu memintanya melakukan hal itu. Kakak ipar yang begitu dekat dengan ibu mengabulkan segala keinginan ibu. Ia berkeliling ke semua tempat dan teman yang sering aku datangi, mencari tahu segalanya tentangmu. Ia kembali dan menceritakan dengan berat hati kepada ibu. Ibu begitu terkejut dengan ceritanya tentang dirimu. Ibu tak sanggup berkata-kata di depannya. Ibu terdiam. Kakak iparku terdiam. Sore itu aku dipanggilnya.

Ibu sudah tahu semuanya. Ibu sudah tahu bahwa kau sudah menikah. Ibu sudah tahu bahwa kau sudah memiliki seorang putra. Ibu sudah tahu bahwa istrimu sedang mengandung anak kedua. Ibu sudah tahu bahwa kau berselingkuh denganku. Ibu sudah tahu bahwa aku merebut suami orang. Ibu sudah tahu alasanku tak memperkenalkanmu. Ibu menangis. Ibu yang sudah renta itu menangis sesegukan, tak pernah menyangka putrinya memilih suami orang. Aku terduduk lemas, tertunduk tanpa kata, air panas mulai mengalir lembut perlahan keluar dari sudut-sudut mataku, semakin lama semakin deras seiring perjuangan ibu mengeluarkan segala emosinya. "Ibu tahu suamimu sudah meninggal nak, tapi bukan berarti kau mampu merebut seorang suami dan ayah. Kau pernah merasakan menjadi seorang istri, bagaimana perasaanmu bila suamimu direbut wanita lain nak? Kembalikan dia ke istri dan anak-anaknya. Jangan kau rebut lagi. Kembalikan dia!"

Dirinya...dirinya yang mengaku sebagai istrimu meneleponku. Perselingkuhan ini tercium olehnya. Dia melemparkan bertubi-tubi pertanyaan kepadaku. Aku marah padanya, harusnya sebagai seorang istri yang baik ia bisa menjagamu dengan benar, bukan lantas menerorku dengan segala pertanyaan-pertanyaan menyebalkan ini. Aku mengelak, menyangkal semua yang terjadi di antara kita. Dia tak percaya, dia hubungi semua kenalan kita. Dia tanyakan semua hal tentang kita. Aku takut, ketakutan mulai merajai diriku. Aku mencari-cari dirimu, aku harus mencari perlindungan darimu. Aku bingung, aku tak tahu harus kemana. Kau memintaku berulang kali mengganti nomor ponsel ku agar dia tak bisa mencariku lagi, tapi entah dari mana dia bisa mendapatkan lagi nomor-nomor baru itu. Aku semakin takut, takut menerima kemarahan seorang istri dan ibu dari anak-anakmu.

Mungkin benar kata ibu, aku harus melepaskan dirimu. Aku tak boleh merebut suami orang. Aku tak boleh memisahkan dirimu dari anak-anakmu. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi, cinta ini membutakan mataku hingga pandanganku hanya terpaku pada dirimu seorang. Kau dan dirinya sudah tak bisa dipisahkan lagi kecuali oleh Sang Penyabut Nyawa. Aku yang berada di tengah-tengah antara dirimu dan dirinya, merelakan dirimu kembali padanya. Aku, dirimu, dirinya, tak akan pernah sadari hal ini pernah terjadi.


No comments:

Post a Comment