Monday, August 22, 2011

Pasar Malam


Macet,
Motor parkir menutup jalan,
Mereka hilir mudik,

Memangku anak diatas motor,
Membelikan permen,
Menghibur dengan permainan,
Menyanyikan lagu-lagu dangdut khas jalanan,
Mencoba bermacam pakaian yang dijual,
Mencicip jajanan pinggiran,

Tangisan,
Tertawa,
Teriak senang,
Riuh suasana,
Jalanan ditutup,

Pasar malam,
Dan kemeriahan di dalamnya....

Friday, August 19, 2011

Kita Berhasil !!

Seorang sahabat pernah bertanya pada saya, "Tujuan lo ngerubah pola makan lo apaan sih?". Sebentar saya terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya. Namun tampaknya apa yang saya ucapkan saat itu belum bisa mewakili apa yang ada di dalam hati saya. Seandainya saja sahabat saya itu saat ini membaca tulisan ini, tulisan sederhana yang bisa saya ungkapkan dengan lebih lugas perasaan saya sebenarnya. 

Saya sudah menikah kurang lebih 4 tahun. Saya amat menikmati perjalanan hari-hari kebersamaan saya bersama sahabat tak terpisahkan saya, walaupun tanpa seorang anak kecil yang mengiringi perjalanan itu. Saya tidak pernah berpikir banyak untuk memiliki seorang anak, hingga orang-orang di sekitar yang mulai meributkan dan bertanya-tanya segala hal soal anak. Awalnya tak satu pun pertanyaan itu yang mengganggu kehidupan saya dan suami, tapi lama kelamaan ratusan pertanyaan itu mulai mengganggu pikiran dan menguras energi serta kantong karena saya mulai mencari-cari dokter kandungan untuk meluluskan permintaan berlebihan dari mereka.

Sampai kemudian di satu titik saya mulai kehabisan kesabaran akan cobaan Sang Pemberi ini, saya mulai menyalahkan semua orang yang ada di sekitar saya termasuk suami. Saya menyalahkan karena ketidakberdayaannya dalam menangani masalah ini dan meredam semua omongan orang-orang di sekitar kami. Saya menyalahkan karena dia yang bermasalah, sedangkan saya tidak. Saya menyalahkannya atas segala hal yang terjadi. Menangis berpelukan dengan guling di dalam selimut saat malam hari menjadi kesenangan saya saat itu. Sampai kemudian saya bertemu seorang sahabat lain yang tinggal di negara yang amat jauh dari keluarga, dan ia begitu menikmati perjalanan kehidupannya yang hanya berdua dengan suami. 

Saya mulai berkaca, saya bertanya-tanya dalam hati saya, apa saja yang sudah saya lakukan untuk memiliki seorang anak? Jawabannya adalah, tidak ada! Saya hanya sibuk menyalahkan suami atas ketidaksanggupannya menyelesaikan masalah ini, namun saya tidak pernah mau melihatnya yang berupaya lebih keras dari saya untuk mewujudkan keinginan egois saya, memiliki seorang anak. Ia berusaha meminum semua vitamin dan supplement yang saya suguhkan di atas meja. Ia telan semua itu tanpa pernah bertanya apa saya sudah meminum semua vitamin serta supplement itu juga. Ia hanya tak ingin melihat saya meringkuk di dalam selimut bertemankan guling sambil menangis sejadi-jadinya tanpa mau mendengarkan saran-sarannya. Ia hanya ingin melihat saya tersenyum dan bahkan tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.

Sejak saat itu lah saya lalu mulai melakukan pencarian di berbagai media, mulai dari koran, majalah, buku kesehatan, googling, konsultasi dengan dokter kandungan, sharing dengan beberapa teman, sampai akhirnya saya menemukan hal baru. Keadaan fisik dan psikis seseorang bisa berdampak positif dan negatif untuk kehamilan. Saya mulai mendeteksi tubuh saya sendiri, kekurangan apa yang ada dalam diri saya yang perlu saya minimalisir agar bisa terjadi kehamilan. Saya mendapati kenyataan bahwa dalam historikal kesehatan keluarga saya ada yang berpenyakit jantung, kolesterol tinggi, darah tinggi, dan diabetes. Semua penyakit yang bisa menghambat kehamilan, bahkan jika sudah terjadi kehamilan maka akan membahayakan ibu dan bayinya. Saya mulai mencari tahu semua hal yang berkaitan dengan 4 penyakit berbahaya tersebut, dan kesimpulannya adalah saya yang harus memulai memperbaiki pola makan saya agar saya bisa meminimalkan resiko terkena 4 penyakit penghambat kehamilan.

Saya memaksakan diri saya untuk bangun lebih pagi di hari libur untuk berolah raga, mulai mengganti makanan yang biasa saya makan, lalu Sang Petunjuk mempertemukan saya dengan seorang sahabat lama yang ternyata bekerja sebagai konsultan kesehatan. Ini dia, pikir saya saat itu, saya akan memberanikan diri saya untuk menghubunginya dan mencoba berkonsultasi dengannya. Saya ingin dengar apa pendapatnya mengenai temuan-temuan saya ini. Hingga kemudian pertanyaan di awal cerita ini terlontar darinya. 

Sekarang saya dengan berani menjawab pertanyaannya, "Karena gue teramat sangat ingin punya anak dan gue ga bisa cuma ngerengek pertanggungjawaban dari suami gue doang untuk masalah ini, gue harus memulai dari diri gue sendiri dengan cara merubah semua pola makan dan hidup gue. Setelah impian gue terwujud, gue akan dengan bangga bilang ke suami gue, KITA BERHASIL!!".




Thursday, August 18, 2011

Cerpen 4 - Menanti

"Hai Mer, apa kabar?" tanganku yang masih terulur hanya ditatapnya, ia pun berlalu dari hadapanku. Berlalu tanpa membalas uluran tanganku, hanya terdengar suara desahan halus kesal sambil berlalu. Aku tertegun, hatiku hampa, ku tahan air mataku agar tak tumpah di pesta itu.

Tahun-tahun di bangku kuliah itu tak akan pernah aku lupakan. Aku dan Mery bagaikan 2 orang sahabat yang tak dapat dipisahkan. Di kampus aku akan ada di sebelah Mery, makan di kantin Mery akan duduk di sampingku, sampai di kamar kost pun kami masih asik mengerjakan tugas kuliah bersama-sama. Mery mulai mengenalkan teman-temannya padaku. Kami akan bersenda gurau bersama, merencanakan jalan-jalan selepas jam kuliah, membelanjakan uang jajan yang tersisa, memimpikan bertemu dengan pangeran impian. Lalu tak pernah kusangka persahabatan tahunan itu kandas oleh hal sepele.

6 tahun lalu Mery mengenalkanku pada Roy, seorang laki-laki yang dikenalnya dari seorang teman yang lain. Roy adalah seorang pengusaha muda dari kota Padang. Ia pernah bersekolah di luar negeri. Pengalamannya tinggal lama di negara rantau membuatnya pintar bergaul. Perawakan Roy tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang laki-laki, bajunya diseterika rapi disertai aroma wangi di sekujur tubuhnya, selalu mengenakan sepatu kets bersih dan tali-talinya diikat dengan baik, raut wajahnya selalu bersinar-sinar, bibirnya menyunggingkan senyuman khas, tak banyak bicara namun pengetahuannya tak diragukan lagi. Tiba-tiba saja Roy menjadi topik Mery setiap kali ia mendatangi kamar kost ku. Aku hanya menjadi pendengar yang baik sambil sesekali melontarkan godaan padanya. Aku tahu betapa inginnya Mery memiliki Roy menjadi pacarnya, walaupun aku tahu belum terjadi apa-apa dengan mereka berdua tapi aku sungguh berharap mereka akan berpacaran dan kemudian bisa menikah. Aku sungguh mengharapkan yang terbaik bagi sahabatku itu.

6 tahun lalu pula aku pergi ke Beijing untuk memperdalam bahasa China disana. Aku meninggalkan sahabat-sahabatku di Jakarta termasuk Mery dan segala cerita cintanya dengan Roy. Aku berjanji akan membawa pulang semua cerita mengenai kehidupan sekolah ku disana termasuk cerita cintaku. Kami kerap bertukar cerita melalui email dan facebook, Mery masih setia dengan cerita cintanya dengan Roy, masih belum ada kelanjutan yang berarti dari hubungan tanpa status itu. Roy masih terkesan tak menganggap Mery layaknya kekasih, ia hanya menganggap hubungan itu adalah hubungan pertemanan biasa saja. Mery tampak putus asa dengan tingkah laku Roy yang seakan-akan mempermainkannya saja. Aku sebagai sahabat harus terus memberikan semangat dengan berbagai cara. 

5 tahun lalu kakak ku akan mempersiapkan pernikahannya, aku akan dipanggil mami pulang ke Indonesia untuk membantu semua persiapan. Aku mencoba menawar ke mami, meminta ijinnya memperbolehkanku tinggal disana hingga tahun depan. Tahun itu aku tidak jadi kembali ke Jakarta, mami meluluskan permintaanku karena kakak ku menetapkan tanggal pernikahannya 2 tahun lagi.

4 tahun lalu aku harus kembali ke Jakarta, mami tak memberikan tawaran untukku memperpanjang masa belajarku lagi. Kakak ku memerlukan bantuan ku untuk persiapan pernikahannya. Aku mempersiapkan kepulanganku ke Jakarta. Aku packing semua baju-baju yang akan aku bawa. Merantau di negara 4 musim mengharuskan ku memiliki banyak sekali baju sehingga baju-baju itu perlu aku pilih mana yang akan dibawa kembali ke Jakarta dan mana yang akan ditinggalkan di Beijing. Aku akan kembali bertemu dengan para sahabatku termasuk Mery, yang kuharap akan mengenalkanku sekali lagi pada Roy sebagai pacarnya. Namun ternyata Mery belum melanjutkan hubungan tanpa status itu ke jenjang yang lebih tinggi. Ia masih setia diperkenalkan sebagai "teman". Sekali lagi aku bertemu Roy, kali ini ia meminta nomor ponsel ku.

3 tahun lalu aku mencoba menceritakan hal ini pada Mery, aku ungkapkan semua tentang kami. Aku tak mau Mery menganggapku sebagai penghianat. Aku tak pernah menyangka bahwa ketika Roy meminta nomor ponsel ku itu dia sedang penjajakan mencari seorang istri. Dan aku tak pernah tahu bahwa Roy mencantumkan namaku di daftar pencalonan istrinya. Selama beberapa tahun itu Roy berkeliling di seputar Mery, aku dan beberapa teman-temanku untuk memastikan siapa yang akan dipilihnya. Selama ini Roy memang hampir selalu melakukan hubungan jarak jauh dengan Mery, namun itu hanya sebatas pertemanan biasa saja. Menurutnya Mery sebagai seorang teman terlalu banyak menuntutnya melakukan ini dan itu, membuatnya menjadi jengah untuk melanjutkan hubungan pertemanan itu ke jenjang berikutnya. Ketika aku pulang ke Jakarta, Roy seperti mendapatkan pencerahan setelah lelah berputar-putar mencari alasan menghindari Mery. Roy aktif menelepon ku setiap malam, kami bercerita segala hal. Roy mencari-cari alasan agar bisa mengunjungiku setiap 2 minggu sekali. Roy rela terbang dari Padang hanya untuk berkeliling Jakarta dengan ku. Roy tak pernah memintaku menjadi pacarnya, tapi ia memintaku menjadi istrinya. Mery marah besar, baginya aku bagaikan musuh dalam selimut. Berani merebut laki-lakinya. Hubungan pertemanan kami terputus kemudian. Kandas karena hal sepele, laki-laki.

2 tahun lalu aku dan Roy mengikat janji di hadapan Tuhan, sebelum ikatan itu dikukuhkan sekali lagi aku menghubungi Mery, memintanya datang untuk mendoakan pernikahan ku dan Roy. Namun aku harus menelan kekecewaan lagi karena penolakan Mery. Tak satupun telepon, SMS, email, message di facebook yang dibalasnya. Aku sedih, tak tahu harus berbuat apa lagi agar Mery mau memaafkan kesalahan yang bukan aku inginkan terjadi. Aku minta bantuan Roy untuk membujuknya, Roy hanya berkata "Untuk apa kau terus mengejarnya, padahal ia sendiri tak mau kau kejar. Kau hanya menghabiskan energi dan waktumu saja. Biarlah kalau memang ia tak mau, tak perlu kau kejar lagi". Aku mencoba mencari pandangan lain dari kakak dan kakak ipar ku, mereka pun berkata yang sama dengan Roy. Maka dengan berat hati aku melepaskan persahabatanku dengan Mery dan melangkahkan kaki ke Altar pernikahan ku.

1 tahun lalu anak ku melihat dunia untuk pertama kalinya, ia melihat aku sebagai mamanya dan Roy sebagai papanya. Kehadiran anak ku membuatku semakin lupa dengan Mery, sampai kemudian aku mendapat kabar ia akan menikah. Sungguh senang aku mendengarnya. Aku mencari tahu tentang pernikahannya melalui beberapa teman kuliah ku dulu. Beberapa yang masih berhubungan baik dengan ku akan bercerita panjang lebar mengenai kehidupan Mery setelah aku dan Roy menikah. Aku senang Mery telah menemukan pasangannya. Sekali lagi aku akan mencoba menghubunginya, mudah-mudahan saja ia mau membalas sapaan ku dari dunia maya, mudah-mudahan ia sudah melupakan semua perdebatan kami.

Hari ini aku diundang ke pesta pernikahan seorang teman kuliah. Aku menggendong anak ku dan Roy berjalan di sebelahku. Dari kejauhan aku melihat Mery, ia masih seperti dulu, rambutnya masih panjang bergelombang, badannya masih langsing, kulitnya masih putih mulus, make up yang dipakainya masih sederhana, masih terlihat segar di mataku. Itu Mery yang ku kenal. Aku berjalan ke arahnya, dengan tersenyum aku hampiri ia, aku ulurkan tanganku sambil menyapanya, dan kemudian disinilah aku termangu karena ditinggalkannya dengan muka keras tanda tak senang. Roy menghampiri ku, memeluk ku, dan mengajakku menjauh, meninggalkan hingar bingar pesta malam itu.