Thursday, November 17, 2011

Cerpen 6 - Orang Gila Itu Ayahku

"Brengsek kau! Lebih baik aku tak dilahirkan daripada memiliki ayah seperti kau! Dasar sialan!"

Brak!!
Pintu rumah itu kubanting.
Tak bisa kupercaya, aku memiliki ayah macam dia. Ayah tak berguna yang hanya mampu merongrong istri dan keluarganya. Ayah yang tak sanggup kuakui sebagai ayahku. Ayah yang lebih pantas kupanggil sebagai "Orang Gila".

Entah bagaimana cerita awalnya hingga kedua orang tuaku menikah, yang aku tahu ialah semenjak aku lahir mereka sudah sering bertengkar, meneriakan semua isi kebun binatang bersahut-sahutan. Ketika mereka bertengkar aku hanya bisa meringkuk di pojokan kamar sembari menutup telingaku, agar tak kudengar kata-kata jahanam tak berperikemanusiaan itu diteriakan. Kakak perempuanku tak peduli apa yang terjadi di rumah. Dia selalu melarikan diri, bersenang-senang dengan teman-temannya. Hanya aku yang menemani ibuku di rumah bersama bajingan itu. Namun jika ia di rumah, "Orang Gila" tak mampu berkata-kata. Kakak perempuanku bagai singa si raja hutan. Aumannya dapat menggetarkan hati siapa pun yang mendengar. Seisi hutan akan terdiam dan berlari menjauh. Menunggu hingga sang raja hutan kembali tenang. Tak terkecuali "Orang Gila".

Ibu harus bekerja, ia menghidupi aku dan kakak perempuanku. Beruntung aku memiliki seorang paman kaya, konglomerat terpandang, ia membantu ibu mencukupi kebutuhan rumah serta sekolah aku dan kakak perempuanku. Tanpanya mungkin aku dan kakak perempuanku tak akan bisa melanjutkan sekolah. Sedangkan "Orang Gila" itu, dia hanya seorang pemalas yang berkedok broker mobil bekas.

Suatu kali mereka bertengkar, semua kata cacian mereka keluarkan. Seperti biasa aku kembali meringkuk di kamarku. Kakak perempuanku setelah ikut meneriakan isi kebun binatang, pergi keluar rumah, entah kemana. Tak lama, ku dengar ibu berteriak kencang, teriak ketakutan. Aku berlari keluar kamar, ku lihat "Orang Gila" menodongkan pisau dapur ke ibu. Dia mengancamnya. Ibu terkejut, mukanya pucat ketakutan. Aku menarik tangan ibu, ku ajak ia bersembunyi di kamarku. Ketika situasi kelihatan aman, ibu berlari keluar rumah, ia kabur ke rumah paman. "Orang Gila" itu mengejarnya, menjemput paksa dari rumah paman, dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.

Namun esoknya "Orang Gila" kembali menodongkan pisau ke ibu. Kali ini ibu berlari ke kantor polisi. Naas bagi ibu, polisi tak mau mengurusi masalah keluarga tak berduit macam kami. Polisi menyuruhnya pulang ke rumah dan menyelesaikan masalah keluarganya dengan suaminya. Ibu tak berani pulang, ia ketakutan, takut akan suaminya sendiri.

Kali lain aku yang bertengkar dengan "Orang Gila" itu, tak tahan beradu mulut dengannya aku pergi meninggalkan rumah dan ibu. Aku berlari ke rumah paman. Aku bersembunyi disana. Ibu menangis, ia takut aku meninggalkannya. Ia tak berdaya menanggapi "Orang Gila". Ia berharap aku cepat pulang, menemaninya di malam hari. Bersembunyi berdua di kamar kecilku. Aku bertahan di rumah paman, aku tahu aku tak kuasa melawan "Orang Gila". Kakak perempuanku yang perkasa berkata pedas melawannya. Sepotong kalimat tegas dari kakak perempuanku membuat "Orang Gila" terdiam.

Aku pulang ke rumah lagi. Aku takut, takut akan kejadian yang tak ingin kualami lagi. Takut akan hardikan "Orang Gila". Namun dari semua ketakutan itu aku tahu aku harus melindungi ibu, dan aku tahu kakak perempuan ku yang berlagak macam singa sang raja hutan itu melindungi kami. Aku tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung, namun aku tak akan lari lagi. Aku akan melawannya!

No comments:

Post a Comment