Thursday, November 17, 2011

Cerpen 5 - Lamaran

Dia, siang itu aku melihatnya. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita, di sampingnya duduk seorang anak laki-laki berumur sekitar 3 tahun. Wanita di depannya memangku seorang putri kecil yg cantik. Aku terpaku, dia sudah berkeluarga dengan 2 orang putra putri. Air mataku mengalir perlahan.

Lima tahun lalu, aku berteriak mengusirnya keluar dari kamar kostku. Aku tak tahan menjalani masa-masa bersamanya tanpa kejelasan akan lanjutan hubungan ini. Enam tahun bersamanya dan tak sedetik pun dia pernah mengucapkan kalimat yg teramat sangat ingin kudengar, lamaran.

Bertahun aku bersabar menunggu kalimat lamaran itu dia ucapkan. Bertahun aku bersabar menantinya menunjukkan keseriusan akan hubungan ini. Bertahun aku bersabar menghadapi tanggapan dingin kedua orang tuanya padaku. Bertahun aku bersabar menutup telinga saat kedua orang tuaku bertanya kemana hubungan ini kan kami bawa. Bertahun aku bersabar, hingga aku tak tahan lagi.

Kesabaran ku habis, dan tiba-tiba saja emosiku memancak, kemudian tanpa sadar kulontarkan juga pertanyaan tak sabarku padanya. Dan yg membuatku kecewa, dia hanya terdiam. Diam, tak ada sepatah kata pun yg dia gumamkan. Geram. Aku geram dibuatnya. "Keluar kau dari sini. Aku tak ingin melihatmu lagi". Malam itu aku usir dia dari kamar kostku.

Malam berikutnya dia datang kembali, namun tetap tanpa sepotong kalimat penenang yg ingin kudengar. Diam. Kami hanya berdiaman di kamar kostku, sampai larut malam, hanya diam. Begitu terus berhari2.
Aku tak tahan dgn sikapnya. Aku mencari pelarian. Seorang rekan kerja sekantor menarik perhatian ku. Benar-benar perhatian yg memikat. Aku tertarik dengan daya pikatnya. Aku tak sanggup berpaling. Aku selingkuh. Selingkuh terang-terangan di depan matanya. Aku akan buat dia cemburu. Akan kubuat dia menyerah. Akan kupakai segala cara agar dia mau mengucapkan kalimat sakti itu. Lamaran.

Dia tahu aku menyakitinya, namun dia hanya diam saja. Dia tetap berpikir laki-laki itu hanya rekan kerja tanpa maksud terselubung. Dia tak mau mengucapkan kalimat itu. Kalimat yg amat aku tunggu. Aku gila dibuatnya. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana lagi memaksanya. Memaksanya mengucapkan kalimat itu. Aku nekat. Aku akan mengeluarkan senjata terakhir ku. Putus.

Satu minggu telah lewat. Aku sudah melontarkan kata putus padanya. Dia masih singgah di kostku. Tak menyerah melepasku. Namun lamaran itu masih tak kudengar dari mulutnya. Setiap dia datang aku tak ingin melihat mukanya. Dia pulang tanpa bisa menjelaskan. Menjelaskan alasannya menunda kalimat itu. Aku kesal. Aku tak mau terima semua alasan omong kosongnya. Alasan yg hanya dibuat-buat.

Lama tak kulihat dirinya, aku rindu sosok diamnya. Lama tak kudengar kabarnya, aku rindu mata teduhnya. Lama tak kudengar suaranya, aku rindu tawanya. Lama, aku rindu padanya.
Aku mencari sosoknya. Aku mencoba menghubungi semua kenalannya. Aku bertanya segala hal tentangnya. Tak kusangka aku akan mendengar cerita itu. Cerita yg seharusnya menjadi ceritaku. Dia akan menikah. Menikah dengan seorg wanita yg baru dikenalnya setahun belakangan. Seorang wanita yg menjadi pelariannya ketika aku selalu menutup pintu kostku kala dia datang dulu. Seorang wanita yg tak pernah ku kenal sebelumnya. Dia akan menikah.

Seorang kenalan bilang betapa bodoh aku dulu. Seorang kenalan bercerita bahwa dia sedang mengumpulkan uang agar ketika menikah kami tak akan mengemis dengan orang tua sehingga orang tuanya yakin dan mengijinkan kami menikah. Sayang waktu itu aku tak sabar dan selalu menuntutnya hingga dia kebingungan. Dia menutup matanya ketika tahu aku memaksanya dengan cara memanfaatkan kebaikan seorang rekan kerja, perselingkuhan yang sebenernya menyakiti hatinya. Tapi dia tahu itu sebenarnya hanya salah satu akal-akalanku saja.

Kalau saja waktu itu aku mau mendengar penjelasannya. Kalau saja waktu itu aku mau membuka telingaku. Kalau saja waktu itu aku mau bersabar sedikit lagi. Kalau saja... Kalimat penyesalan tiada guna.

Dan disinilah aku berdiri sekarang. Menatap dia dan keluarga kecilnya dari kejauhan. Menyesali kebodohanku karena tak sabar menantinya sedikit lagi. Menangisi keputusan yg pernah kubuat. Berdiri terpaku tanpa seorang pendamping disisiku. Perihku melihatnya.

Ah, sudahlah. Lebih baik aku mendoakannya. Semoga dia mendapatkan yg terbaik. Semoga keluarga kecilnya bahagia selalu. Semoga dia tetap mengingatku dan kenangannya bersamaku. Semoga... Semoga aku bisa seperti dia.

Aku berbalik
Selamat tinggal masa lalu ku...

No comments:

Post a Comment