Thursday, September 22, 2011

Salam Persahabatan

Beberapa waktu lalu, seorang teman mengundang saya untuk datang ke pembukaan restoran miliknya. Jujur saja, saya sedikit merasa tersanjung dengan undangannya, karena sepengetahuan saya teman tersebut tidak banyak mengundang teman-teman saya lainnya. Disini saya sebut ia sebagai teman karena tampaknya tak pantas bagi saya untuk menyebutnya sebagai sahabat, disebabkan hubungan pertemanan kami yang tidak cukup akrab sehingga jika menyebutnya sahabat seperti mengharapkan sesuatu yang lebih dari dirinya, padahal belum tentu ia ingin berakrab-akrab dengan saya dan menyebut saya sebagai sahabatnya, jadi saya putuskan disini bahwa saya akan menyebutnya sebagai teman saja.

Dari penjelasan singkat tadi mungkin bisa ditangkap sedikit alasan ketersanjungan saya akan undangannya tadi. Hubungan pertemanan kami tidak terlalu akrab, bermula dari teman SMP sampai dengan SMU lalu berpisah di bangku kuliah, bertemu lagi beberapa pernikahan sahabat-sahabat kami dan berpisah lagi, lalu bertemu lagi di salah satu tempat fitness dan berpisah lagi, bertemu lagi di salah satu kedai kopi langganan kami dan kemudian berpisah lagi, bertemu lagi di seminar atau reuni sekolah dan berpisah lagi, begitu terus. Dan tiba-tiba saya mendapat undangan untuk pembukaan restorannya yang baru di daerah Jakarta Barat. Cukup tersanjung mendapatinya walaupun pada akhirnya saya tidak dapat menepati janji saya untuk datang ke acara pembukaan tersebut. Free Flow Beer yang dijanjikannya terpaksa saya lupakan karena banyak hal. Hal itulah yang membuat saya tidak berani untuk menyebutnya sahabat saya, takut nanti dikira saya terlalu ge-er, padahal dia sendiri hanya menganggap saya sebagai salah satu teman sekolahnya saja

Jujur saja, sebenarnya saya cukup kagum dengan jalan hidupnya, walaupun ada beberapa teman dan sahabat yang memandang tak suka padanya. Seingat saya, ketika duduk di bangku kelas 3 SMU ayahnya meninggal dunia, lalu menyusul ibunya ketika kami duduk di bangku kuliah. Saya menyempatkan diri untuk datang melayat sekaligus mencari tahu bagaimana nasib kehidupannya mendatang. Akan tinggal dengan siapakah dia? Apakah akan terus melanjutkan kuliahnya atau tidak? Darimana keuangannya akan mengalir? Kepada siapa dia akan mengadu kalau tertimpa bencana? Semua pertanyaan itu tidak pernah terjawab karena kami tak pernah bertemu lagi dan beberapa teman yang kehilangan kontak dengannya.

Sampai suatu ketika, selepas 2 tahun saya meninggalkan bangku kuliah, saya bertemu dengannya di salah satu tempat fitness yang terletak di salah satu mall besar di bilangan Jakarta Barat. Saat bertemu dengannya saya cukup canggung karena ketidakakraban satu sama lain, namun saya beranikan diri saja untuk mengajaknya bertukar cerita. Ternyata selama ini ia tetap kuliah sambil meneruskan usaha ayahnya di Bangka Belitung sekaligus menjadi orang tua bagi seorang adik perempuannya. Suatu siklus kehidupan yang cukup berat bagi seorang laki-laki berusia 21 tahun, usia yang bagi sebagian orang digunakan untuk bersenang-senang, bermain sepuasnya dengan orang-orang seumurannya, berpesta pora sampai pagi, mabuk-mabukan tak kenal waktu, menghabiskan uang jajan pemberian orang tuanya, namun hal itu tak mungkin baginya. Saat itu ia harus memilih antara menjadi seorang egois yang tetap memposisikan diri sebagai seorang anak muda dengan banyak keinginan atau menjadi seorang kakak sekaligus ibu dan ayah bagi seorang adiknya yang masih kecil dan melanjutkan perusahaan ayahnya demi membayar hidupnya dan adiknya. Pilihan yang sulit menurut saya, karena bagi saya, usia 21 tahun itu adalah usia dimana saya baru merasakan nikmatnya mengenal dunia pergaulan anak muda jaman sekarang, bersenang-senang dengan teman satu geng sampai larut malam, tidak usah bersusah-susah memikirkan akan makan apa besok, apakah bisa membayar gaji asisten rumah tangga bulan ini atau tidak, ketika kurang uang jajan maka akan menyodorkan tangan pada ayah saya.

Semua ketidakkhawatiran saya menjadi kekhawatirannya, namun ketika ia melihat adik perempuannya yang masih kecil dan membutuhkan kasih sayang seorang ayah dan ibu, ia pun bersemangat untuk merangkap pekerjaan ayah dan ibunya sekaligus menjadi kakak yang siap berbagi cerita serta keluh kesah. Sejak pertemuan itu, kami jadi lumayan sering bertemu di beberapa pernikahan teman dan sahabat kami. Dan sejak itu juga, saya menjadi lebih tidak canggung ketika bertemu dengannya.

Suatu waktu, saya mendapat berita darinya, ia mendapat rekan kerja seorang penilai makanan ternama Ibukota, ia akan membuka kedai makanan di Bali, dan voila, jadilah sekarang ia seorang pebisnis makanan. Mungkin karena merasa sudah lebih berhasil dibanding beberapa teman sepermainannya, membuat dirinya menjadi sedikit pongah dan berlagak. Tak sedikit dari teman dan sahabat saya yang memutuskan tidak ingin meneruskan pertemanan dengannya, karena tindak tanduknya yang sudah melebihi batas seorang yang sukses di usia muda. Mungkin baginya tak masalah teman-teman tersebut menjauhinya, sepertinya ia tak merasa rugi kehilangan teman-teman sepermainannya dulu. Dan sekarang, ketika ia sudah mandiri dan bisa membuka satu restoran lagi, sepenglihatan saya tak satu pun teman sepermainan kami mengucapkan selamat atas keberhasilannya, dan tak satu pun dari mereka diundang datang ke pembukaan restoran tersebut.

Bagi saya, memiliki seorang teman dan atau sahabat itu seperti memiliki asset penting perusahaan. Saya selalu berusaha memperlakukan teman dan atau sahabat seperti layaknya memperlakukan asset penting. Mengapa saya sebut asset penting, nanti saya jelaskan. Sebisa mungkin saya menyempatkan pertemuan-pertemuan dengan mereka, atau jika keterbatasan waktu maka tinggal tekan nomor telepon mereka maka perbincangan akan mengalir, atau jika pulsa tidak mengijinkan untuk melakukan panggilan maka ketik saja SMS. Dan satu hal lagi, nikmatnya hidup di jaman modern dan serba canggih ini, ngobrol dengan teman dan atau sahabat itu bisa dilakukan lewat dunia maya, social media yang bertebaran di dunia maya dulu hanya dapat diakses dari komputer sekarang ada dalam genggaman hingga mudah bagi saya untuk menyapa teman dan sahabat dari jauh sekalipun.

Sekarang saya jelaskan mengapa teman dan sahabat itu asset penting bagi saya, saya adalah seorang yang malas belajar, namun saya sangat suka membaca buku (kecuali buku pelajaran) dan "menguping" obrolan orang-orang di sekitar saya. Bagi saya, selain pengetahuan melalui buku-buku, obrolan orang-orang di sekitar itu adalah pelajaran buat saya, sehingga ketika terlibat dalam suatu obrolan dengan teman-teman dan sahabat-sahabat saya maka saya akan belajar banyak dari mereka. Seakan-akan teman-teman dan sahabat-sahabat saya adalah mata dan telinga saya yang bisa berkeliling dunia dalam berbagai waktu, lalu kembali ketika sudah mengumpulkan banyak informasi. Oleh sebab itu saya benar-benar menganggap mereka sebagai asset penting, karena tanpa mereka sepertinya saya menjadi buta dan tidak tahu apa yang melanda dunia saat ini. Dan karena itu juga lah saya benar-benar menjaga tali persahabatan dan pertemanan saya agar tidak terputus, karena saya tak ingin pengetahuan saya akan dunia terputus juga.

Entah bagaimana dengan para teman dan sahabat di luar sana, satu kalimat yang ingin saya ucapkan, Salam Persahabatan :)