Sunday, July 24, 2011

Cerpen 1 - Andai Ia Tahu

Terhenyak ku dibuatnya, dihadapanku ia berdiri bersama seorang laki-laki tak ku kenal. Perempuan yang selama kurang lebih 6 bulan ini berusaha ku dekati. Perempuan tinggi, berkulit putih dengan rambut pendek ala Demi Moore, senyum tak pernah lepas disunggingkannya. Sungguh ku terpesona dengannya.
Namun saat itu dengan riangnya dia kenalkan,
"Al, kenalin, ini cowok gue".
Sesaat aku terdiam membisu & membeku, wajah cantiknya menari-nari di mataku, senyumannya menusuk jantungku sampai tak bisa berkedip menatapnya, sampai kemudian Anom & Yosi menyikutku,
"Woi...diajak salaman tuh".
Aku tersadar, mengulurkan tanganku tuk bersalaman dengannya.
"Hai, Aldo".
Singkat, aku tak mau berpanjang lebar dengan laki-laki ini. Dia pun hanya membalas,
"Hai, gue Harry".
Mereka duduk persis di bangku depan ku, Anom, & Yosi. Aku bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka berkenalan? Dimana mereka kenalan? Sudah berapa lama mereka pacaran? Semua berputar di kepalaku, membuatku tak dapat berkonsentrasi mendengar homili Pastor di depan. Anom & Yosi yang tahu jelas perasaanku saat itu seakan menemukan kesempatan menggodaku. Ketika bahu mereka bersentuhan, ingin aku hampiri & berteriak di hadapan laki-laki jahanam itu,
"Hei, jauhkan dirimu dari wanitaku".
 Namun aku cukup tahu diri untuk tetap diam di tempat duduk ku. Mengintip sesekali melalui kaca pintu samping gereja. Berusaha menahan kepalaku menunduk agar tak selalu melihat mereka berduaan. Semakin panas hatiku, semakin Anom & Yosi menggodaku,
"Wah...Al, disenggol mulu bahunya. Sengaja duduknya rapet-rapet tuh, biar bisa senggol-senggolan. Kalo gue jadi lo sih udah gue tonjok tuh hi-hi-hi...".
Panas ku dibuat mereka, tapi aku hanya bisa tersenyum tak berdaya. Tak mampu aku duduk berlama-lama disini menatap mereka yang duduk berduaan di depanku memamerkan kemesraan. Sebelum misa minggu pagi usai, aku langsung pergi meninggalkan Anom & Yosi, mencari-cari alasan yang masuk akal untuk kuutarakan ke mereka. Anom & Yosi hanya tersenyum geli, seakan mengerti itu hanya alasan palsu yang ku karang barusan. Ku pacu motor ku, ku paksakan ia  melaju lebih cepat. Tak sabar ingin kutumpahkan perasaan kacau ini pada Rano, sahabat ku. Ingin ku ceritakan bagaimana terbakarnya hati ini, terbakar cemburu, cemburu gila, gila tak tertolong.

Rano di seberang telepon siang itu terbingung-bingung, berusaha sebisanya untuk mengerem hujanan celoteh tak karuan yang aku semburkan kepadanya. Hanya sesekali ku terhenti untuk mengambil jeda sesaat mengatur nafas yang memburu di dada. Rano seakan mengerti luapan ketidaksenangan sahabatnya tak akan bisa dia hentikan dengan segera. Pasrah saja ia menerima semuanya. Sampai akhirnya ku terhenti sendiri karena kehilangan kata-kata makian.

Seminggu berlalu, siang ini rapat panitia pelaksanaan acara penerimaan anggota baru akan dilangsungkan. Jantungku berdetak kencang, berharap hari ini bisa menemui perempuan cantik yang selalu menggoda mataku. Walaupun aku masih teringat laki-laki yang bersamanya, namun tawa riang & celetukan-celetukan ringan yang selalu dilemparkannya padaku membuat ku tak mampu melepaskannya begitu saja. Ah, benar saja, ia datang. Seperti biasa, selesai rapat panitia kami semua tak langsung pulang, kami semua lebih senang menghabiskan waktu bersama, menyanyi bersama, melemparkan candaan-candaan seputar kami, berbagi cerita bersama, namun siang itu ku tak mampu bercerita banyak padanya saat ia bertanya kenapa minggu lalu saat kita bertemu, aku malah pulang duluan meninggalkan ia tanpa pamitan. Pertanyaannya itu ku jawab dengan ketus,
"Ahh...ga asik main sama lo sekarang. Ayo No, kita pergi aja".
Aku menarik tangan Rano yang berdiri di sebelahku. Rano yang sudah siap mengantisipasi keadaan itu langsung menghindari tanganku, hingga aku hanya menangkap angin. Aku berlalu dari mereka berdua, ku berjalan perlahan sambil memasang kuping lebar-lebar. Aku ingin menangkap pembicaraan mereka berdua dengan baik.
"Aldo kenapa sih No? Emang gue salah apa sama dia? Kok dari minggu lalu dia marah-marah mulu ke gue sih? Ga ngerti deh gue..."
"Lo uda punya cowok ya Fan?"
"Iya, trus kenapa kalo gue uda punya cowok? Emang disini dilarang pacaran?"
"Ooo...uda punya cowok toh, he-he-he... Ga apa-apa sih. Udah, ga usa lo pikirin si Aldo, ntar juga baek sendiri kok dia. Jadi lo uda punya cowok ya..."
"Iya Ranoooo.... Gue uda punya cowok. Mesti berapa kali sih gue jawab pertanyaan lo, sedangkan lo aja ga jawab-jawab pertanyaan gue. Ada masalah apa sih sama cowok gue? Gue bener-bener ga ngerti deh sama lo berdua..."
Sengaja ku berbalik & berteriak memanggil Rano, maksud hati ku ingin melihat raut wajahnya. Ah, ku menyesal telah melihatnya, raut wajahnya terluka, seperti menahan tangis karena perbuatanku & Rano. Hatiku ikut merasa perih.

Malam ini, malam ini akan ku utarakan semua padanya. Akan ku beritahukan ia alasan aku & Rano bersikap seperti itu hari itu. Akan ku ceritakan ia bagaimana ku menahan perasaan ini. Akan ku tunggu reaksi berikutnya darinya. Ku mantapkan hati, menenangkan diri, mengatur nafas, mempersiapkan awal pembicaraan dengannya. Ku angkat gagang telepon, menekan nomor-nomor yang telah ku hafal, menunggu panggilan itu dijawab di seberang sana.
"Halo..."
"Halo... Bisa bicara dengan Fanny?"
"Iya... Aldo ya? Akhirnya lo mau ngomong juga sama gue, he-he-he... Ada apa Al?"
Ah, suara merdunya membekukan lidah ku.
"Eh, lo sendiri yang ngangkat ya, he-he-he... Iseng aja telepon lo, udah lama ga gangguin lo nih he-he-he... Lagi ngapain lo?" 
"Yeeyyy.... Nelepon cuma buat iseng doang, nyesel deh gue ngangkat telepon lu. Bilang aja lu kangen sama gue, ya kan? ha-ha-ha..."
Tawa renyahnya membuatku bingung, bagaimana ia tahu ku begitu merindukan tawa itu bergema di dalam diriku.
"Nah kan, Pe-De lo seabrek banget deh Fan... Tapiii... Gue emang kangen sama lo sih"
"Wuahhh...ngaku juga dia akhirnya ha-ha-ha... Ternyata gue ngangenin juga ya Al, ha-ha-ha..."
Sekali lagi aku memantapkan hati ini, menenangkan diri, mengatur nafas, mencari kata-kata yang tepat untuk mengutarakannya. Malam ini aku harus berhasil meraihnya.
"Ehmm... Fan, sebenernya gue mau ngomong jujur ke lo. Gue suka sama lo, suka yang bener-bener suka antara cowok ke cewek, bukan suka dalam artian temenan. Lo mau ga sama gue?"
"Ha-ha-ha... Lo pasti bercanda kan Al? Gue kan uda punya cowok Al, kan 2 minggu yang lalu uda pernah gue kenalin ke lo. Lupa lo ya?"
"Gue serius Fan, gue bener-bener suka sama lo. Kok lo ga percaya sih?"
"....."
Jeda. Diam. Sunyi. Senyap. Tak bersuara. Detak jantungku berdebar dengan kencang, seperti mau lompat keluar dari sarangnya.
"Gue ga tau mesti ngomong apa ke lo sekarang. Besok pagi selesai rapat panitia aja kita ngobrol lagi"
Malam itu tak bisa tidur ku dibuatnya. Ingin ku panggil Sang Empunya Pagi untuk muncul lebih cepat dari biasa. Tak sabar aku ingin bertemu dengannya.

Pagi ini, pagi yang mendebarkan. Aku mematut-matutkan diriku di kaca, berusaha memberikan tampilan terbaik yang ku miliki. Ku pacu motor perlahan-lahan sembari merilekskan semua urat-urat di tubuh ku agar tak kelihatan tegang saat bertemu dengannya. Itu dia, berdiri di samping pintu gerbang, tertawa-tawa bersama yang lainnya. Cantik. Cantik sekali ia hari ini.
"Oi... Lagi pada ngapain mejeng disini? Uda mau mulai tuh rapatnya"
Perempuan cantik ini menoleh kepadaku, memiringkan sedikit kepalanya seperti keheranan melihatku yang  terlambat datang. Andai ia tahu, malam tadi tak bisa tidur ku dibuatnya.
Aku memaksa ketua panitia untuk menyelesaikan rapat secepatnya. Sungguh tak sabar menanti jawabannya siang ini. Gelisah ku dibuatnya. Ketika rapat usai, langsung ku melesat keluar duluan, berpura-pura ke WC, menunggunya di depan pintu gerbang. Rano terheran-heran melihat tingkah ku. Belum ku ceritakan padanya masalah ini. Nanti No, nanti pasti ku ceritakan padamu.
"Fan, mau pulang? Bareng gue yuk... Gue anter pake motor biar cepet, lagian kan rumah kita deketan. Yukk... "
Tampaknya ia ragu-ragu menjawab ajakan ku.
"Al, kalo boleh gue tahu, kenapa baru sekarang lo bilang ke gue, lo suka sama gue. Kenapa ga dari dulu, ketika gue belom ada cowok yang berdiri di samping gue?"
" Ehmm... Karena baru sekarang gue sadar, gue ga mau kehilangan lo"
"(Desahan halus terdengar) Jujur aja ya Al, dulu sebelum cowok gue deketin gue, gue uda suka sama lo. Perhatian lo, candaan lo, petikan gitar lo, gaya lo, semua yang ada di lo itu gue suka. Apalagi setiap kali kita ngumpul lo cuma mau duduk di sebelah gue, itu bikin gue tambah seneng sama lo. Trus lo juga selalu bilang, kita semua yang ada disini tuh jomblo, itu bikin gue berharap sama lo. Sampai satu ketika, gue tahu dari Rano dan yang lainnya, bahwa lo uda punya cewek & jalan lebih dari 2 tahun. Itu yang buat gue langsung berhenti ngelihat lo sebagai cowok yang gue suka, sekaligus berhenti berharap lo akan membalas perasaan gue. Gue punya prinsip yang ga akan gue langgar sendiri Al, gue ga mau ganggu milik orang lain karena gue juga ga mau milik gue diganggu oleh orang lain. Jadi Al, tanpa perlu gue jawab secara jelas harusnya lo uda tau apa maksud gue ngomong gini ke lo"
"Gue pulang sendiri juga ga apa kok Al, gue tahu siang ini lo mesti jemput cewek lo buat jalan."

Terpana, terpana aku mendengar penjelasannya. Terpukul, rahasia kecil yang selalu kusembunyikan darinya akhirnya terbongkar juga. Rahasia yang kusimpan agar aku bisa terus duduk di sampingnya, menggandeng tangannya ketika berdoa bersama, menyanyi bersama dengannya, berjalan beriringan disampingnya.
Ia terus berjalan, meninggalkan ku yang berdiri terdiam tak bisa bergerak olehnya. Ku pandangi punggungnya yang terus bergerak menjauhiku. Seandainya ia tahu, hubungan ku dengan perempuan lain itu sudah diambang kehancuran. Seandainya aku tak terlambat memutuskan hubungan ku dengan perempuan lain yang disebutnya itu. Seandainya aku tak terlambat mengutarakan semua perasaan ku sebelum didahului laki-laki itu. Aku menyesal, sungguh menyesal karena terlambat.

No comments:

Post a Comment