Monday, November 19, 2012

Cerpen 13 - Tanyaku

"Pa, Ma, aku akan menikah".
Itu kalimat pertama ketika bertemu mereka setelah 3 bulan mereka berdiam di kampung. Kalimat itu membelalakkan mata mereka. Ribuan pertanyaan berawalan kenapa, mengapa, sama siapa, dan awalan pertanyaan lainnya berputar-putar mengulang. Aku tak bisa menjelaskannya secara panjang lebar dan gamblang, hanya saja itu yang ingin aku lakukan sekarang. Mereka memintaku berpikir beribu kali. "Pernikahan bukan permainan rumah-rumahan anak kecil", itu kata mama.

Perkenalanku dengan Devon bermulai 5 bulan lalu. Diawali dikenalkan Lisa maka jadilah kami pasangan. Waktu seperti tak berjalan, namun berlari. Hingga 2 bulan setelah perkenalan itu kami memutuskan untuk menikah. Kami yakin ini ide terbaik karena kami tahu bahwa kami mampu berjalan bersama.

Aku tahu aku berganti pacar seperti aku berganti baju. Ketika aku bosan atau merasa tidak cocok maka seketika itu aku akan putuskan cerita cintaku. Aku punya target, sebelum umur mencapai kepala 3 aku sudah harus menemukan suami. Aku tak mau dijuluki perawan tua oleh orang-orang sekampung. Aku tak mau ditertawai sahabat-sahabatku yang rata-rata sudah menggendong anaknya ketika kami berkumpul.

Lalu muncullah Devon, pria mapan nan rupawan dengan target mencari istri. Aku seperti menemukan teman seperjuangan mencapai target menikah. Kami sering bertukar pikiran, bertukar cerita, bertukar mimpi, hingga tiba-tiba niat itu muncul darinya.

"Gimana kalau kita menikah", aku tersentak mendengarnya. Bukan ide buruk, seruku dalam hati. Devon laki-laki matang dengan umur 32 tahun. memiliki showroom motor lengkap dengan bengkelnya. Memiliki kendaraan sendiri yang cicilannya pun telah dibayar lunas. Maka ide menikah itu kusambut bak menyambut tantangan bungee jumping.

Lalu tibalah waktu untuknya menyatakan niat lamaran itu ke orang tuaku. Karenanya sebelum mereka terkaget-kaget karena kabar ini, lebih baik aku menyampaikan dahulu niat kami.

Genap 3 bulan menikah, aku baru sadar ternyata pilihanku salah. Menikah dan tinggal campur dengan keluarga mertua ternyata sungguh menyiksa. Tak tersedia waktu istirahat untukku di waktu libur. Pulang kerja masih harus duduk bercengkerama dengan ibu mertua. Hari libur aku berkeliling ke keluarga-keluarga lainnya dan diperkenalkan sebagai istri Devon yang bukan saja seorang istri namun seorang pekerjan kantoran dan bisa menyetir mobil demi berkenalan dengan mereka.

Jujur saja, aku sudah tak kuat menjalani ini semua. Aku mulai letih meladeni keinginan ibu mertua yang semakin mengada-ada. Aku ingin merasakan rengkuhan mesra laki-laki yang kupilih sebagai suami. Aku butuh bantuannya menolak semua hal yang berhubungan dengan keluarganya. Aku hanya ingin memiliki waktu berduaan saja dengannya.

Namun ternyata itu semua hanya keinginanku sendiri. Devon tak memiliki hasrat dan keinginan yang sama denganku. Aku sudah tak sanggup berjalan bersamanya lagi. Andai saja bisa menjauh darinya. Hanya saja kali ini aku tak bisa berpisah. Ikatan pernikahan melingkar erat. Aku harus bertahan dengan keriuhan rumah dan keruhnya komunikasi kami. Hanya saja, sanggupkah aku bertahan?

Saturday, November 3, 2012

Cerpen 12 - Misteri Wanita

Kawan, mari aku ceritakan satu cerita. Cerita tentang wanita. Cerita akan kerumitan seorang wanita. Cerita akan kemisteriusan seorang wanita. Cerita tentang menariknya seorang wanita.

Bermula dari ketika aku mendekati seorang wanita. Wanita ini menarik, fisik dan tutur katanya. Rambut hitamnya panjang tergerai sepunggung tersisir rapi selalu. Kulit putih nan mulus terawat terlihat dari ujung-ujung kukunya yang terpotong rapi dipoles cat kuku. Baju yang dikenakannya selalu mengikuti trend masa kini. Belum lagi sepatu atau sandal yang menemani kakinya kemana-mana tak pernah terlihat debu melekat disana. "Sempurna", aku mengucap dalam hati.

Memulai proses pendekatan dengan wanita ini sungguh menguras energi. Penampilan yang aku punya hanya kaos oblong dengan gambarnya nyaris hilang tersapu air sabun untuk mencucinya setiap dua hari sekali. Celana jins yang robek, bukan karena mengikuti mode anak-anak punk tapi karena terlalu sering kena sikat.

Tanpa sepatu, hanya bersandal jepit kamar mandi dengan tali rafia warna merah terikat menyatukan kedua ujung penjepit sandal karena penjepit itu sendiri sudah mulai aus dan mendekati ajalnya, putus.
Rambut berminyak bukan karena gel rambut yang mengubah tatanan rambut menjadi lebih bergaya, namun karena sudah seminggu aku kehabisan shampoo membuat tak bisa keramas.

Mencoba peruntungan aku beranikan diri mencari nomor telepon indekosnya. Melalui seorang teman yang notabene saudara sepupunya, aku bisa nonton bioskop dengannya. Sayangnya syaratnya tak boleh nonton berdua saja dengannya. Jadilah bodyguard yang terdiri dari sepupunya itu dan 2 orang temanku dipaksa menemani kami. Tapi tampaknya suatu hari nanti aku harus berterima kasih pada para bodyguard ini. Mereka dengan pintarnya mengatur tempat duduk agar aku bisa duduk tepat di sebelahnya tanpa diganggu mereka. Jadilah saat itu aku keluar uang buat nonton film action tapi konsentrasi teralih dengan rencana busuk dikepala, bagaimana caranya memegang tangannya di dalam bioskop tanpa membuatnya marah. Ah, sial!

Tenang kawan, saat itu rencana busuk itu tak ku laksanakan.

Setelah hari itu aku mulai berani menelepon indekosnya. Tapi untuk mengajaknya keluar sekedar berjalan-jalan ke mall sungguh sulit. Syarat yang diajukan lama-lama membuatku tak sanggup lagi mengikuti permainannya. Berpakaian kemeja rapi dan licin tersetrika, bersandal bukan sandal jepit kamar mandi, rambut tersisir rapi, mandi 2 kali sehari dan rambut dicuci dengan shampoo, semua bisa aku ikuti. Tapi kalau setiap mau diajak jalan-jalan aku harus bawa teman dan dia harus bawa teman, lalu kapan aku bisa menyatakan perasaan ini? aku tanyakan kenapa harus membawa teman, tak ada jawabannya kawan.

Pusing, aku tanyakan saja pada sepupunya, tau kau apa katanya? Dia malu jalan berdua saja denganku karena tingkat kegantengan yang pas-pas-an, tak seperti pasangan orang lain yang lebih ganteng, tinggi, putih, dan bergaya necis. Karena itu selama ini dia selalu menghindari jalan berdua saja denganku, sampai suatu saat nanti dia menilai penampilanku ini cukup pantas untuk bersanding berdua saja dengannya di mall maka ia akan berani menjawab ajakanku ke mall berdua saja. Gila betul wanita ini kawan.

Setahun berlalu terus macam begitu siapa yang tahan. Tak mau lagi mengikuti permainannya, aku sudahi semua ini dengan tak mau menelepon indekosnya lagi. Kira-kira 1 bulan lewat sudah, sampai suatu malam telepon indekosku yang berbunyi dan ternyata telepon itu untukku. Dari wanita itu? Tak mungkin dia yang telepon kawan, wanita itu pengecut, tak bernyali.

Sepupunya yang menelepon, menanyakan kabar, dan interogasinya pun dimulai. Pertanyaan kenapa dan kenapa dan kenapa terus mengalir darinya. Aku malas meladeni, aku tahu pasti wanita itu menginginkan jawaban. Singkat cerita keluarlah berita wanita itu rindu suaraku. Ha! Rindu! Betul kawan, aku tak salah, dia bilang rindu. Kau bayangkan kawan, sekarang dia bilang rindu suaraku. Benar gila wanita itu.

Wanita itu terus menunggu kapan suaraku akan menyapanya lagi lewat telepon indekos. Wanita pengecut tanpa nyali itu terus menunggu sampai akhirnya tak kuat lagi menunggu dan memohon pertolongan seseorang menyampaikan suara hatinya itu padaku.

Dulu aku ditolaknya setiap hari, sekarang dia bilang rindu.
Dulu aku tak pernah ditunggunya, sekarang dia rela memohon seseorang menyampaikan maksud hati.
Dulu dia tak mau diajak ke mall berdua saja, sekarang dia menjadi istriku.
Dulu dia malu dengan wajahku, sekarang kami menantikan anak kedua.

Nah, sekarang kau mengertikan kau kawan, mengapa kukatakan seorang wanita penuh dengan misteri.

Friday, November 2, 2012

Cerpen 11 - Sepatu Merah

"Bu, sepatuku sudah usang. Berlubang disana sini. Aku ingin sepatu merah baru yang cantik."

"nanti ya nak, uang ibu belum cukup."

--

"Lihat bu, sepatu merah itu cantik ya."

"nanti ya nak, uang ibu belum cukup."

--

"Bu, kata kakak penjual, sepatu merah itu hanya sepasang. Bagaimana ini bu?"

"Nanti ya nak, uang ibu belum cukup."

--

"Bu, coba dengar, kata kakak penjual, ia akan menyimpan sepatu merah cantik itu untukku. Tapi hanya 1 minggu saja."

"....."

--

"Bu, lupakan saja sepatu merah cantik itu. Kata kakak penjual, sepatu merah cantik itu sudah terjual."

"Maaf ya nak, uang ibu masih belum cukup."

--

"Nak, tadi di tong sampah ibu lihat sepatu merah yang kau inginkan. Hanya saja pitanya sudah hilang sebelah. Dia sudah tidak cantik lagi."

"Tak apa bu. Lihat, pitanya yang sebelah aku buang saja, biar sama."

--

"Terima kasih bu. Ibu baik sekali. sepatu ini terlihat cantik di kakiku. Aku senang."

Cerpen 10 - Satu Kata

Berdua.
Duduk.
Diam.
Gelas.
Kopi.
Panas.
"Maaf.."

Dia menggenggam. Aku menatap.
Dia berdiri. Aku tengadah.
Dia berbalik. Aku terpana.
Dia melangkah. Aku terdiam.

Hanya itu saja. Cukup satu kata.
Tak ada lainnya.
Aku kembali sendiri.
Termangu bersama angin.

Saturday, September 8, 2012

Ketika

Patah hati, ketika aku tahu ternyata kau sudah punya seseorang dan kau hanya menjadikan aku pelarianmu saja.

Marah, ketika dengan seenaknya kau bilang, "Putusin dulu pacar lu baru gue putusin cewek gue."

Kecewa, ketika aku minta kita tetep berteman dan kau bilang oke namun hatimu berbanding terbalik dengan mulutmu.

Pasrah, ketika semua jalur komunikasi yang aku coba tak pernah kau balas satupun.

Sedih, ketika aku tahu ternyata kau memutuskan untuk menghapus aku dari seluruh daftar kontakmu.


Sunday, August 12, 2012

Cerpen 9 - Wanita Pertama

Dia, wanita pertama yang tak malu duduk di vespa butut ini. Wanita pertama yang selalu tersenyum malu-malu ketika aku menggandeng tangannya. Rona merah muda yang mewarnai pipinya saat kuperkenalkan pada sahabat-sahabatku akan terus melekat erat di seluruh selaput otakku.

Dia, wanita pertama yang kusebut calon istri di depan orang tuaku. Wanita pertama yang diterima keluarga besarku sebagai calon ibu anak-anakku. Tutur bahasanya yang lembut dan halus langsung mengikat keluarga besarku untuk langsung meminangnya.

Dia, wanita pertama yang aku percayakan mengurus rumah tangga dan keuangan keluarga. Wanita yang ingin kuajak berbagi segala hal hingga maut memisahkan kehidupan ini.

Namun ternyata cerita ini hanya keinginan diriku semata, dia hanya impian tak tergapai yang diciptakan Tuhan untukku. Cerita ini berubah 180 derajat lebih buruk dari yang pernah dibayangkan, berubah bak sinetron-sinetron picisan yang berlomba-lomba merekam adegan menciptakan ratusan episode untuk merebut rating tertinggi.

Dia, wanita pertama yang memaksaku membuang orang tuaku. Wanita yang merusak tali persaudaraan keluarga besar yang terjalin manis selama puluhan tahun. Wanita laknat yang mencoba menguasai seluruh isi rumah agar bisa menginjakku lebih rendah hingga ke dasar perut bumi.

Dia, wanita yang tak pernah kubayangkan akan menghadirkan dua malaikat kecil di rumah ini dengan ramai celotehan mereka. Wanita yang tak mampu mengurus kedua putri kami. Wanita yang hanya tahu menghamburkan kerja keras suami dengan belanjaan yang entah untuk apa gunanya. Wanita tak berguna yang harus kupanggil istri!

Dia, wanita pertama yang membuat aku muak tak tahan tinggal diam di rumah menatap wajah polosnya seakan tanpa dosa. Wanita pertama yang ingin kutinggalkan namun tak tega karena dua malaikat ini benar-benar memanah jantungku dan menahannya disana untuk memastikan aku akan selalu pulang untuk mereka.

Dia, wanita sinting nan gila yang sampai entah kapan aku sanggup bertahan dengannya.

Ah, sudahlah, malaikat-malaikat kecilku sudah menanti dirumah. Aku harus segera pulang sebelum wanita laknat itu mulai memukul si kecil karena tak tahan dengan tangisannya. Biarlah cerita ini menjadi bagian dari cerita-cerita sinetron picisan yang mengejar rating tertinggi, aku hanya ingin pulang dan memeluk malaikat-malaikatku.

Saturday, August 11, 2012

Cerpen 8 - Cinta Terlarang

Tak ada yang tahu, untuk apa aku menabung sekian lama.
Tak ada yang tahu, mengapa aku berkeras hati ingin ke Belanda.
Tak ada yang tahu, bagaimana aku mengawali rencana ini.

Media sosial membantu banyak perkenalan kita. Perkenalan singkat namun bermakna dalam bagi kita. Aku yang terkesan dengan kepandaianmu, pola pikirmu yang sangat modern dan kebarat-baratan, tak pernah kukira kesan ini bermetamorfosis menjadi kagum yang terbungkus rapi di sudut hati macam kepompong lalu menetas dan merekah seiring waktu menjadi cinta. Cinta yang ternyata tak bertepuk sebelah tangan, kau mengungkapkan hal yang sama. Hati ini tersanjung, terbang ke angkasa tinggi melambung dan tak ingin kembali ke bumi.

Belanda, tempat awal pertemuan yang mendebarkan. Menatap matamu yang agak kebiruan untuk pertama kali dan kulit putihmu seakan menegaskan perbedaan kultur diantara diriku dan dirimu. Ah, menarik sekali laki-laki dihadapan ku ini. Aku berlagak tenang, menjaga bahasa tubuh ku agar tak kelihatan betapa senang hatiku bertemu denganmu. Menjaga tutur bahasaku agar tak ketahuan aku yang serampangan. Laki-laki Indonesia keturunan Belanda yang sungguh membuatku jatuh hati dan tak ingin berpaling lagi. Pemandangan musim gugur di Amsterdam dengan tiupan angin sejuknya tak cukup mampu mengalihkan pandanganku darimu.

Perkenalan dengan keluarga kecil itu seakan menyatukan kepingan kecil dalam hidupku. Seorang tante yang bertahun-tahun tak kutemui, berkenalan dengan om yang bule dan dua orang saudara sepupu laki-laki yang tak pernah kutemui secara langsung, hanya skype tempat perkenalan awal kami. Rumah ini akan menjadi rumahku selama dua minggu ke depan. Aku harus berusaha membiasakan diri dengan bahasa dan situasi sehari-hari di rumah ini. Dinding kamar yang dingin menjadi pemisah sementara diantara kita. Tak apa, dua hari lagi kita akan berkeliling Belanda, menumpang perahu kecil melewati kanal-kanal di Amsterdam, menyaksikan bule-bule Belanda yang baru keluar dari rumah perahu mereka, menikmati rumah-rumah miring khas Amsterdam, menjelajah Volendam, berburu kincir angin untuk difoto, mengejar kereta ke Jerman, Belgia, dan berakhir di menara Eiffel Paris, kota cinta. Aku hanya perlu bersabar dan menikmati semuanya.

Sepuluh hari berkeliling rasanya tubuh ini tak ingin kembali ke Belanda, kembali ke dinding dingin yang memisahkan kita. Belanda juga menjadi tanda bahwa liburan ini telah berakhir, aku harus kembali ke Jakarta, kembali ke realita seakan perjalanan ini hanya mimpi indah sesaat dan ketika terbangun nanti semua ini akan terbang bersama kumpulan molekul udara. Kecupanmu di keningku saat itu menjadi kecupan terakhir kita. Dekapan eratmu saat itu seperti tak ingin melepaskan, udara musim gugur saat itu mulai terasa semakin dingin. Aku tak ingin perjalanan ini berakhir!

Jakarta, kota besar yang menenggelamkan mimpi dua minggu itu secepat angin musim gugur bertiup merontokkan daun-daun di pinggir-pinggir kanal Amsterdam. Aku merasakan angin musim gugur mulai merontokkam daun-daun hati ini karena mereka menentang cinta kita. Tiga bulan berlalu sudah, orang tua dan semua orang mencium gelagat aneh tentang kita selama ini. Mereka menentangnya. Sedih, hati ini pilu. Patah arang, tak tahu hatus mengadu kemana. Pertama kali aku mencinta dan pertama kali cinta ini ditentang. Saudara sepupu yang pertama kali bertemu dan langsung membuatku jatuh cinta. Saudara sepupu yang pertama kali mencium lembut pipiku di bawah menara Eiffel. Saudara sepupu yang mendekapku erat di musim gugur ini. Saudara sepupu yang amat kucinta.

Kini, semua tahu tentang kita.
Kini, semua tahu tentang perjalanan kita.
Kini, semua tahu tentang cinta kita... Cinta yang terlarang...

Saturday, August 4, 2012

Metamorfosis

Saya punya seorang teman, kalau teman ini pantas disebut sebagai teman. Teman ini sering bercerita pada saya, atau lebih tepatnya mengeluh pada saya. Seringnya ia bercerita (baca: mengeluh) tentang kehidupan pribadinya atau pekerjaannya.

Pernah suatu kali dia bercerita (baca: mengeluh) bahwa dia terpaksa memusuhi seorang rekan kerja wanita demi memperebutkan seorang rekan kerja pria. Dan setelah permusuhan itu terjadi mereka berdua menyadari bahwa rekan kerja pria tersebut malah mentertawakan kebodohan mereka dan mencemoohnya, lalu memilih untuk menyukai rekan kerja wanita yang lain. Akhirnya teman saya tadi malah merasa bersalah telah memusuhi rekan kerjanya sendiri tapi gengsi untuk mengajaknya berbaikan kembali. Saya yang mendengar cerita (baca: keluhan) itu langsung tertawa terbahak-bahak.

Pernah lagi dia bercerita (baca: mengeluh), ada seorang rekan kerja pria di kantornya yang sepertinya sedang jatuh cinta padanya, karena perhatian yang diberikan sang arjuna ini bak orang yang sedang pendekatan dengan wanita yang disukai. Saya katakan itu belum tentu benar. Bisa saja itu hanya perasaan gede rasa semata teman saya ini. Namun ia tetap dengan pendiriannya. Lalu dengan percaya diri tingkat nasional teman saya ini mengajak si pria itu untuk berjalan-jalan dan menyatakan perasaannya pada si pria. Apa yang terjadi kemudian? Si pria terkaget-kaget dan tidak menyangka bahwa ternyata niat untuk berteman diartikan lain oleh teman saya ini. Dan kembali teman saya menahan malu karena penolakan seorang laki-laki. Kembali saya terbahak-bahak mendengar ceritanya (baca: keluhannya)

Ada lagi ia bercerita (baca: mengeluh) tentang pekerjaannya. Bahwa pekerjaannya begitu banyak, atasannya hanya mempercayai dirinya seorang dan tak mudah mencampakkan kepercayaan besar itu kepada orang lain. Bahwa hanya dirinya lah yang mampu mengerjakan pekerjaan itu, dan hampir semua orang di kantor mengharapkan kehadirannya setiap hari untuk menangani masalah-masalah pelik. Bahwa kalau ia tak masuk kantor sehari maka keadaan di kantor tersebut akan kacau balau. Dan sebagainya. Satu hal yang tak pernah ia tahu, ternyata atasannya sudah menunggu pernyataan berhenti yang akan terlontar dari mulutnya. Dan benar saja, ketika teman saya ini mengancam dengan kata berhenti maka sang atasan pun mempersilahkan dengan lapang dada. Ancaman teman saya ini ternyata menjadi bumerang. Tanpa bisa berkata banyak lagi, maka teman saya ini pun memberhentikan dirinya sendiri dari perusahaan tersebut.

Lama tak terdengar cerita (baca: keluhan) teman ini, hari ini saya kembali mendengarnya. Ternyata ia masih berkutat dengan fenomena yang sama walaupun habitatnya berbeda. Dua kali berpindah habitat namun tetap menemukan fenomena yang sama, saya menyimpulkan sepertinya memang benar ada yang salah dengan kepribadian teman saya ini.

Mendengar ceritanya (baca: keluhannya) saya lebih memilih untuk menutup telinga saja. Tak sebaiknya cerita-cerita negatif itu berputar di dalam kepala saya lalu bermetamorfosis menjadi pikiran busuk lalu mempengaruhi aura dalam tubuh saya yang saya jaga selalu terang berubah menjadi gelap. Sebaiknya saya mulai memilah-milah cerita yang layak saya rekam di memori saya.

Salam metamorfosis :)

Saturday, June 2, 2012

ART #4

Bagi yang sudah memiliki anak tentunya akan senang menemani anak-anaknya bermain sambil belajar. Bisa bermain sambil belajar bernyanyi, atau membaca, ataupun berhitung. Pastinya kegiatan bermain itu pun jadi lebih bermakna bagi anak-anak. Namun bagaimana bila anak-anak itu bukanlah anak biasa, melainkan seorang anak yang sudah berumur 35 tahun? Apa jadinya ketika anda dihadapkan untuk mengajar seorang anak berumur 35 tahun yang bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik? Itu lah yang saya hadapi dengan ART saya sejak tahun 2009.

Pertama kali ia bekerja di rumah saya, saya tidak pernah tahu bahwa ia tak pandai membaca dan menulis. Saya hanya tahu ia bersekolah sampai kelas 4 SD. Dalam pikiran saya, anak kelas 4 SD sudah seharusnya pandai membaca dan menulis walaupun belum rapi tulisannya, namun seharusnya diusianya yang diatas 30 tahun itu ia sudah pandai membaca dan menulis. Ternyata semua perkiraan saya itu salah besar, karena si ART ini masih belum bisa membaca dan menulis dengan baik, lancar dan cepat.

Singkat cerita akhirnya saya pun mengajarinya membaca dan menulis. Perlahan-lahan saya minta ia setiap hari membaca artikel di koran. Ia tak perlu mengerti isinya, yang penting ia lancar membaca dan saya mengharapkan lama kelamaan ia bisa membaca dengan cepat supaya ketika menonton televisi dengan teks dibawahnya ia bisa membacanya dengan cepat dan mengerti apa yang diceritakan.

Kegemaran membaca seakan ingin saya tularkan padanya. Tumpukan buku di lemari dan laci kamar tidur saya seakan menjadi virus baginya. Ia yang sering melihat saya menenteng buku untuk dibaca sebelum tidur pun belajar meniru kebiasaan saya itu. Sering saya lihat ia merebahkan dirinya di lantai bertemankan koran. Tertidur kelelahan karena terlalu banyak membaca tulisan di koran. Terkadang terdengar suara pelan keluar dari mulut yang berkomat-kamit membaca surat kabar itu.

Perlahan-lahan saya temukan ia sudah lumayan pandai membaca walaupun masih belum bisa membaca dengan cepat, dan sesekali ia masih bertanya bagaimana membaca kata yang berakhiran huruf "y", "d" dan "b", atau ketika ada kata yang disisipkan huruf "x" dan "q". Saya juga belum menemukan cara bagaimana agar ia bisa membaca teks di televisi karena teks yang muncul terlalu cepat baginya untuk dibaca dan dimengerti, sering ia berkata tak masalah baginya tak bisa membaca yang penting tontonan itu bisa menghiburnya.

Saya selalu menekankan padanya untuk belajar membaca supaya ketika ada surat-surat yang dikirimkan ke rumah bisa diterima dengan baik dan orang-orang jahil tak kan mudah mengelabuinya dengan surat-surat bohong. Semoga saja usaha yang saya lakukan selama 3 tahun ini tidak sia-sia, sehingga jika ia tidak membantu saya lagi kemampuan membaca tersebut bisa membantunya dikemudian hari.

Salam membaca :)

Friday, March 16, 2012

ART #3

Melanjutkan cerita tentang ART yang bekerja di rumah saya, bisa dibaca dari tulisan saya sebelumnya bahwa ART saya ini sungguh udik. Kali ini saya ingin menceritakan kisah udiknya yang lain. Bukan ingin mentertawakan keudikannya, hanya ingin sedikit berbagi cerita bahwa Indonesia yang sudah mulai bergerak maju ini pun masih memiliki orang-orang terbelakang pendidikan macam dirinya.

Suatu hari di tahun 2011, ART ini bertanya pada saya, kapan tepatnya Lebaran akan dimulai. Karena saya tidak ingat persis tanggal berapa, maka saya minta dia untuk membuka kalender saja dan langsung lihat disana kapan tepatnya Lebaran tiba. Sembari membuka kalender itu dia kembali melontarkan pertanyaan, "Kalo Natal tanggal berapa bu?". Saya terperanjat dan melihat sekilas raut wajahnya, memastikan bahwa apakah ia benar-benar bertanya pertanyaan mudah itu. Dan sepertinya ia bertanya dengan serius. Belum sempat saya jawab ia pun bertanya lagi, "Kalo taon baru itu tanggal berapa ya bu?".

Saya yang sedang makan pun langsung meletakkan sendok makan saya dan langsung melihat tajam wajahnya, kemudian saya tanyakan padanya apakah ia benar-benar tidak tahu kapan Natal dan Tahun Baru. Ia pun menatap mata saya dan sambil malu-malu ia menjawab, "He-he-he, saya lupa bu". Apa?! Natal dan Tahun Baru adalah tanggal yang tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, masa iya ia dengan mudahnya menjawab ia lupa. Saya yakin benar bahwa ia tidak tahu sama sekali kapan Natal dan Tahun Baru tiba.

Singkat cerita akhirnya saya ajari dia tentang tanggal-tanggalan. Lalu saya dapati kenyataan bahwa ia pun tidak tahu kapan tanggal kemerdekaan Indonesia! Yang ia ketahui hanya Agustus-an, karena kalau di kampungnya kemerdekaan Indonesia hanya disebut dengan Agustus-an!

Jadilah akhirnya saya mulai membuka-buka lembar kalender dari bulan Januari hingga Desember demi mengajarinya tanggal-tanggal penting. Saya minta ia mengingat beberapa tanggal penting seperti Tahun Baru, Sumpah Pemuda, Indonesia Merdeka, Natal, dll. Tanggal seperti Lebaran, Idul Adha bukan tanggal yang bisa diingat karena tanggal-tanggal itu selalu berubah-ubah setiap tahunnya.

Tinggal satu atap dengan ART ini terkadang membuat saya bukan hanya melatih kesabaran saya saja, pun juga melatih ingatan akan pengetahuan yang hampir saya lupakan. Sepatutnya saya berterima kasih pada ART ini.

Salam sabar :)

Tuesday, March 13, 2012

ART #2

Saya bersyukur memiliki mertua yang doyan repot mencarikan ART untuk suami dan saya. Saya juga bersyukur mertua saya ini masih mau merepotkan diri mengajar ART bagaimana mengurus rumah saya dengan baik menurut caranya. Saya pun bersyukur mertua mempertemukan saya dengan ART saya yang sekarang ini.

Pertama kali ART ini datang dari kampung rantau di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan ke rumah mertua saya di Palembang, ia diajari berbagai hal dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh mertua saya. Setelah dirasa cukup barulah ART ini dikirimkan ke Jakarta menggunakan pesawat terbang.

Saya tahu, pasti ada beberapa orang yang membaca tulisan ini lalu berkata, "Wah, keren bener ART-nya naek pesawat". Tapi percayalah, bahwa sebenarnya ada alasan lain dibelakang perbuatan elit saya dan mertua ini.

Perjalanan dari Palembang ke Jakarta bisa ditempuh melalui jalan darat, bus yang dilanjutkan dengan naik kapal sampai pelabuhan merak dan lanjut lagi naik bus. Atau naik kereta, lanjut dengan kapal sampai pelabuhan merak, lanjut lagi naik kereta. Hanya saja si ART ini mabuk darat sehingga tak memungkinkannya untuk naik bus. Naik kereta? Ia tak tahu bagaimana caranya naik kereta dari Stasiun Kertapati Palembang, turun di pelabuhan Bakaheuni, naik kereta di merak dan turun di Stasiun Kota (jangan tanya kenapa saya bisa tahu jalur ini). Karena perjalanan ini akan ditempuhnya seorang diri saja, maka moda transportasi yang paling aman baginya hanyalah pesawat terbang.

Yang paling heboh itu justru datang pada saat perjalanan dari bandara ke rumah. Jalanan Jakarta terkenal akan kekalutannya, terutama pada saat jam pulang kerja. Sekarang kita bayangkan apabila jalanan Jakarta di hari Jumat diguyur hujan deras dengan petir menyambar disertai suara geledek bersahutan, jalanan yang biasa ditempuh 1 jam berubah menjadi petaka, 3 jam bergerak malas di tol bandara!

Lalu bayangkan lagi apabila dalam situasi tersebut di mobil duduk dengan orang yang menyebarkan aroma bau badan tak sedap disertai bau muntah akibat gejolak asam lambung yang merangsang otak untuk mengeluarkan semua isi perut ke kantong plastik. Keadaan serba salah, di dalam mobil aroma tak sedap menyeruak tak sopan menyinggung bulu-bulu halus di hidung. Indera penciuman seakan memaksa otak terus bekerja keras menahan keinginan untuk memerintahkan tangan menekan tombol otomatis jendela terbuka agar hawa segar dan air hujan masuk ke dalam mobil, menggantikan udara pengap aroma aneh bin ajaib di dalam mobil. Mungkin ini termasuk salah satu siksaan neraka tingkat pertama.

Singkat cerita ternyata ART ini memiliki aroma tubuh tak biasa. Selidik punya selidik ART ini benar-benar orang dusun tulen. Pakaian yang sudah dikenakannya dikumpulkan berhari-hari dan dicuci hanya dengan mengucek-nguceknya menggunakan air saja. Maka mulailah saya mengajarinya mencuci pakaian dengan direndam terlebih dulu di air berdeterjen baru kemudian dicuci dengan sabun. Saya juga membelikan deodoran dan mengajarinya cara memakai.

Suatu hari saya dapati ternyata ART ini selalu memperhatikan saya ketika akan bepergian. Terkadang saya menyemprotkan sedikit parfum di tubuh saya, kadang saya mengoleskan lotion di tangan dan kaki saya. Semua yang saya lakukan di tubuh saya itu menghasilkan aroma wangi yang menyejukkan hidungnya. Beberapa waktu kemudian ART ini pun membeli berbagai wewangian di warung belakang komplek perumahan.

Singkat cerita akhirnya ART ini sudah sedikit lebih wangi ketimbang pertama kali menginjakkan kakinya di rumah saya. Sesekali masih tercium bau tak sedap dari tubuhnya saat berkeringat. Sesekali juga suami masih mendapati bau tak sedap itu keluar dari mulutnya. Tapi adakah orang-orang kota macam kita yang rela berdekatan dengan orang udik macam dia, bahkan ditemani dengan aroma tak sedap tubuhnya? Ataukah kita sebagai orang kota justru hanya mengucilkan dan semakin menyingkirkannya dari kehidupan kita hanya karena dia udik dan beraroma tak sedap?

Salam aroma :)

Sunday, March 11, 2012

ART #1

Sebenarnya apa sih yang salah dari ART yang pulang kampung? Bukannya itu salah satu hak yang harus dipenuhi oleh sang majikan? Bukankah selama ini si ART sudah memenuhi kewajibannya membantu semua keperluan sang majikan? Lalu kenapa sekarang hak itu ditahan? Apa alasannya hingga majikan bisa menahan hak veto setiap manusia, kebebasan?

Bagi saya, tidak masuk akal rasanya ketika ART meminta ijin pulang kampung kepada sang majikan lalu dibalas dengan pertanyaan, "Ngapain pulang?". Ketika si ART mengajukan keinginannya untuk tidak bersama sang majikan lagi dalam bahasa yang lebih sopan seperti pulang kampung, itu bisa jadi artinya si ART sudah tidak betah bekerja sama dalam perhelatan rumah tangga dengan sang majikan sehingga ia memilih untuk memutuskan tali persatuannya dengan sang majikan. Sama seperti ketika kita jenuh dengan situasi di kantor dan tidak menemukan kecocokan lagi dengan atasan, maka akan dibuat berbagai alasan agar kita bisa pindah ke perusahaan lain.

Atau bisa juga ternyata memang ada keperluan mendadak yang sangat penting baginya hingga ia memutuskan untuk pulang kampung.

Seperti yang saya alami siang kemarin. Saya dan suami sudah di jalan ketika ART menelepon ponsel saya sembari menangis memohon ijin untuk pulang kampung. Saya tenangkan dia sambil bertanya ada masalah apa hingga ia harus pulang kampung. Ia bercerita bahwa adiknya di kampung rantau, di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan, tiba-tiba memberi kabar bahwa pamannya yang tinggal di Jawa Timur meninggal pagi tadi dan ART ini diharuskan untuk pulang. Saya tanyakan bagaimana ia caranya pulang? Mau naik apa, bus atau kereta? Siapa yang akan menemaninya? Berapa uang yang akan dia bawa? Dia katakan bahwa ia memilih pulang dengan kereta tanpa ada yang menemani karena memang dia sudah hafal benar cara-caranya, gaji & pakaian akan ia bawa seadanya saja karena ia berjanji akan kembali lagi setelah semua urusan selesai. Saya katakan padanya sekarang saya sedang berada di tengah jalan menuju ke dokter, saya anjurkan dia untuk menenangkan diri dulu sejenak sambil membereskan pakaiannya.

Itu juga salah satu strategi saya agar bisa berpikir langkah apa yang harus saya lakukan berikutnya. Sejenak berpikir dan merenung lalu saya ceritakan sambil lalu kepada suami. Seketika suami menjawab, "Jangan dikasih pulang. Ngapain dia pulang, ga wajib kok bagi dia untuk pulang. Yang meninggal kan pamannya, bukan ayah atau ibunya."

Hah?! Apa?! Jawaban suami itu membuat otak saya kosong sesaat. Saya tak menyangka kok bisa suami berpikir sepicik itu. Ibu saya yang kebetulan ada di mobil bersama-sama pun menguatkan pernyataan suami. Benar-benar saya dibuat terpana oleh mereka berdua. Lalu setelah kekagetan itu bisa saya atasi, saya katakan pada mereka, "Seandainya kakak dari mama meninggal saat ini juga, dan saya sedang ada di Singapur, dan ketika mama kasih kabar ini saya jawab ga bisa pulang, apa perasaan mama?". Ibu saya terdiam tak mampu menjawab. Saya balik bertanya kepada suami, "Seandainya situasi ini ada di pihak kamu, apa yang akan kamu lakukan?". Mereka berdua hanya bisa menjawab, "Yaaa... Trus mau gimana dong?".

Kecewa benar saya akan pernyataan mereka berdua. Pertanyaan yang saya ajukan malah dibalas dengan pertanyaan lagi. Otak saya berputar cepat. Saya coba hubungi beberapa teman yang terbiasa ke Jawa dengan moda kereta api. Saya cari tahu semua hal tentang kereta api yang berhenti di Stasiun Malang.

Setelah saya tahu semuanya, saya minta suami memutar haluan ke Stasiun Gambir. Bertanya ke loket di Pintu Selatan yang ternyata hanya melayani pembelian tiket keberangkatan saat itu juga. Berputar ke Pintu Utara untuk membeli tiket reservasi. Ikut antrian sambil menoleh kanan kiri karena ternyata semua orang memegang kertas kecil yang telah terisi data-data. Meminta suami menggantikan saya mengantri dan saya pun berkeliling sambil mencari dimana bisa saya temukan kertas kecil itu. Setelah ketemu, terbirit-birit mengisi semua data yang diperlukan karena suami sudah berdiri dekat dengan loket.

Singkat cerita, akhirnya terbeli juga tiket kereta eksekutif Gajayana menuju Malang tertanggal 11 Maret 2012 dan tiket kembali ke Jakarta tanggal 19 Maret 2012. Semua tiket saya belikan tanpa potong uang gajinya. Ia memohon untuk membawa setengah gajinya untuk membantu keperluan di Jawa. Saya berikan sambil berpesan agar hati-hati menyimpan uangnya. Dunia terlalu jahat untuk orang-orang polos macam dia. Dia mengangguk saja, berjanji akan kembali pada tanggal yang dijanjikan. Membayangkan hasil kebun yang akan dibawanya ke Jakarta sebagai oleh-oleh untuk saya dan suami.

Yang akan selalu menjadi pertanyaan saya, kenapa masih ada orang yang menahan ART untuk pulang kampung? Sama seperti pertanyaan berikut namun dalam situasi yang berbeda, mengapa anda mau pindah kerja ke perusahaanlain, padahal di perusahaan ini sudah mendapatkan semua fasilitas bintang 5? Lalu kenapa ART anda tak boleh melirik ke perusahaan lain tanpa seijin anda? Seberapa besar hak anda menahan hak-hak ART anda?

Ironinya anda tak pernah mau hak-hak anda dibatasi oleh hak atasan anda.

Salam hak :)