Saturday, November 23, 2013

Cerpen 16 - Obat Serangga

"Aku ingin hentikan ini semua. Aku ingin kembali normal."

"Tidak! Tidak bisa!"

"Harus! Aku harus kembali. Keluargaku sudah mulai curiga."

"Tidak! Tidak akan! Kalau kau masih memaksa aku akan bunuh diri!"

"Gila kau! Sungguh gila kau!"

"Biar! Biar semua orang tau aku tak terima kau tinggalkan."

"Aku sudah lelah! Lelah berpura-pura. Lelah berpikir mencari-cari alasan untuk keluargaku."

"Tidak! Pokoknya tidak! Aku tak mau berhenti! Tidak akan bisa!"

"Cukup! Kau membuatku pusing!"

"Kau diam saja, aku akan mencari cara. Aku jamin keluargamu tak akan curiga. Kita akan terus menjalani ini. Keluargamu akan menyukaiku. Pasti. Percaya padaku!"

"... Entahlah... "

"Aku akan hujani mereka dengan semua perhatian berlebih. Aku akan bertukar masakan dengan istrimu. Aku akan berpura-pura tertarik dengan segala aktivitasnya. Aku akan menghadiri arisan yang diadakannya. 
Aku tak akan lupa mengucapkan selamat ulang tahun untuk semua putrimu. Aku akan memberikan kado ulang tahun tepat di hari ulang tahun mereka. Aku akan menghadiri semua pesta pernikahan putrimu. Kalau perlu aku akan membantu semua pengurusan pernikahan mereka.
Aku akan berkunjung rutin ke rumah mereka, mengucapkan salam sembari mengirimkan oleh-oleh sekadarnya. Mereka pasti akan senang."

"Jangan! Mereka akan bertambah curiga. Kau tiba-tiba menghujani mereka dengan perhatian berlebih."

"Tidak akan! Apalagi istrimu baru saja sembuh dari sakit. Bagaimana operasinya? Lancar? Aku akan menjenguknya. Memberikan obat herbal agar ia semakin cepat pulih. Ia pasti akan senang. Mereka tak kan curiga."

"... Tapi... "

"Kita tak perlu berpisah. Aku tak sanggup hidup sendiri. Aku perlu kau. Atau kau mau melihatku bunuh diri saat ini juga? Obat serangga ini mampu membuatku tidur selamanya."

"..."

"Jawab aku! Jawab!"

"Baik. Jalani rencanamu. Jika gagal, aku akan menyaksikanmu meminum obat serangga itu hingga kau tidur selamanya."

Catatan Kecil Untuk Kamu

Hai kamu,

Ya.. Kamu yang di sana. Kamu yang duduk tersenyum-senyum membayangkan kebahagiaanmu. Bahagia semu yang kau hadirkan entah karena alasan apa. Kamu yang tak pernah sadar telah memilih persimpangan yang salah.

Bercerminlah. Tampar pipimu. Dan sadarlah. Apapun yang kau jalani sekarang adalah suatu kesalahan besar dalam hidupmu. Perjalanan yang salah bagimu, baginya, dan bagi semua orang yang ada disisimu saat ini.

Terkadang pengalaman tak selalu perlu dirasakan terlebih dulu untuk menjadi suatu pengalaman baru. Terkadang hanya perlu duduk mendengar pengalaman manusia lainnya untuk menyadari bahwa kesalahan itu tak layak untuk dilalui. 

Sesal selalu terlambat. Sesal akan menghapus semua kebahagiaan yang kau pupuk pelan-pelan. Sesal akan merenggut semua yang kau miliki sekarang. Sesal selalu tak berguna.

Ini hanya catatan kecil seorang teman yang hanya mampu mengamati dari kejauhan bahwa kau kini tengah memilih jalur yang salah.

Saturday, July 20, 2013

Cerpen 15 - TKI

"Kalian tunggu di sini. Satu bulan ke depan, kalian akan diberangkatkan."

Itu janji si agen waktu kami semua baru sampai di tempat penampungan TKI di daerah Tangerang, Banten. Namun hari ini genap 3 bulan aku menunggu di sini. Menurut perjanjian dari kampung dulu, jika dalam waktu 3 bulan kami semua belum diberangkatkan maka kami akan dipulangkan ke kampung masing-masing. Jadi, sekarang aku menunggu mereka mengeluarkan jadwal kepulangan kami semua. 

Malam ini kembali aku mendengar suara kasak kusuk dari kamar sebelah. Lampu-lampu kamar sudah dimatikan. Semua tampak tak jelas, hanya bayang-bayang gelap yang bergerak perlahan dengan suara berbisik sesekali. Ini sudah malam ke-5, ada apa sebenarnya?

Pagi itu aku mencoba mencari jawaban pertanyaan malam tadi. Saat sarapan aku berkeliling mencoba mencuri dengar pembicaraan rekan-rekan dari kamar sebelah. Suara mereka terlalu kecil, lebih kecil dari suara berbisik.

"Semalam si Jum yang dibawanya. Malam ini malam ke-6. Kira-kira siapa lagi yang akan mereka ambil malam ini?"

"Aku takut Mar. Aku mau ikut karena dijanjikan untuk jadi pembantu di luar negeri, bukan untuk dijual jadi pelacur. Apa kata tetanggaku di kampung nanti."

"Ah, bukan kau saja yang takut. Semua pun tak ada yang mau dijadikan pelacur."

"Jadi bagaimana ini Mar, apa kita minta dipulangkan saja siang ini?"

Mariyam hanya diam. Entah berpikir atau melamun jauh membayangkan anaknya yang akan masuk SMP tahun depan. Biaya sekolah memang gratis, namun biaya buku, seragam, alat tulis, dan peralatan belajar lainnya itu membutuhkan uang. Entah apa keputusan yang akan diambilnya.

Dijual? Pelacur? Gila mereka. Bagi mereka perjanjian dengan orang kampung yang pengetahuannya terbatas itu hanya sekedar formalitas saja. Aku akan melarikan diri malam ini. Aku harus melarikan diri malam ini!

Saat lampu-lampu sudah dimatikan, 2 orang pria masuk ke kamarku. Mataku terpejam namun telingaku terus mencari-cari suara derap sepatu mereka, kemana mereka akan berhenti. Jantungku berdegup cepat. Derap sepatu mereka terdengar pelan, sepelan hembusan angin malam ini. Mulutku komat kamit berdoa, semoga malam ini aku diselamatkan-Nya. Banyak suara berbisik pelan berdoa hal yang sama denganku. Sumiati yang tidur di samping ranjangku mulai terisak pelan, dia terus menyebut nama suaminya.

Beberapa orang yang ranjangnya dilewati menghembuskan nafas lega sambil mengucap "Alhamdullilaahhh". Dua orang itu masih terus berjalan pelan sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan wajah kami apakah wajah orang yang harus mereka bawa malam ini. Keringat mulai membasahi badanku, padahal pendingin ruangan di kamar ini biasanya membuatku menggigil kedinginan. Aku masih terus komat kamit berdoa, kali ini aku menggenggam tangan Sumiati, berusaha saling menguatkan.

Derap sepatu itu berhenti. Seketika kamar itu menjadi sepi. Hanya suara pendingin ruangan yang berbunyi. Beberapa kepala menoleh. Beberapa terduduk di ranjangnya. Sumiati semakin menggenggam keras tanganku, isakannya semakin kencang. Aku mengangkat sedikit kepalaku, mengintip dari ujung kakiku. Mereka berhenti tepat di kaki ranjangku. Ya Tuhan! Aku akan dibawanya!

"Ningtyas, kamu ikut kami sekarang. Bereskan barang-barangmu." Mereka berbisik di telingaku dengan tegas. Kepalaku pening, aku tak dapat berpikir sekarang. Bagaimana caranya aku melarikan diri malam ini kalau mereka akan membawaku sekarang juga? Ah sial sekali aku malam ini. 

Sambil berkemas aku berpikir cepat, aku harus temukan cara agar bisa lari dari situasi ini. 

"Sudah? Ayo cepat! Kita sudah harus pergi sekarang."

"Sudah Pak. Kita mau kemana Pak?"

"Nanti akan dijelaskan di jalan. Ayo, cepat jalannya."

Lorong penyambung antara kamar tidur dengan lobby rasanya panjang sekali. Degup jantungku semakin berlari. 

Tiba-tiba saja aku dengan berani berkata pada mereka, "Pak, Bapak punya anak perempuan? Apa Bapak tega menjualnya ke lelaki hidung belang? Anggaplah saya anak Bapak, tolong jangan jual saya Pak."

Dia berhenti jalan, membalikkan badannya menghadapku, dan sebersit aku lihat raut mukanya berubah kebapakan. Apa tebakanku kena, dia punya anak perempuan seumurku? Dia diam sejenak, sepertinya berpikir, lalu dia berbisik,

"Ah sial, kamu memperumit kondisi kami."

"Sudahlah Min, kita biarkan yang satu ini. Biar resikonya saya tanggung. Dengar nak, nanti sampai di depan kamu lari saja. Tapi kamu tidak boleh kembali ke kampungmu. Mengerti?"

Aku mengangguk pelan. Mencoba memastikan apa benar perkataannya.

Sesampainya di depan pintu keluar pusat penampungan TKI, 2 orang bapak yang menjemputku di kamar malam itu melepasku, menyuruhku berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang lagi sampai aku lihat jalan raya di depan dan menyetop angkot untuk mengangkutku pergi menjauh dari "rumah" itu. Dengan ongkos seadanya aku melarikan diri ke Jakarta, bersembunyi di kontrakan sepupu jauh ayah. Menceritakan semuanya, terus menyebut "terima kasih Tuhan" karena Dia mendengar doaku, menjelma dalam wujud bapak itu menyelamatkan nyawaku. Menghubungi keluarga di kampung, memastikan mereka tidak akan menyebut tempat persembunyian baruku di Jakarta. Mencari pekerjaan baru sebagai pembantu rumah tangga untuk membayar biaya hidup selama 3 bulan mendekam di rumah penampungan TKI. 

Hidupku perlahan kembali normal walau masih tak berani pulang ke kampungku karena preman-preman agen TKI itu masih keliaran di sana memastikan aku membayar semua biaya yang sudah mereka keluarkan sebagai biaya hidupku 3 bulan di penampungan itu. Bagi kalian ini mungkin hanya cerita sinetron murahan yang sekarang banyak ditayangkan di televisi untuk mendongkrak citra, namun bagiku ini pelajaran kehidupan bahwa terkadang bahagia itu sederhana, bahwa terkadang materi hanya kebahagiaan semu, bahwa ternyata gengsi bisa menyengsarakan batin, bahwa ternyata Dia bisa berwujud dalam banyak rupa.

Thursday, July 4, 2013

Cerpen 14 - Pulang

"Mas, aku mau pulang ke Yogya. Ibu katanya kangen."

Aku mengintip dari atas notebook. Mencoba menebak maksud Yuni. Sesaat berhenti mengetik email balasan, mencoba berkonsentrasi membaca gerakan punggung Yuni yang sibuk mencuci piring kotor bekas makan malam.

Kembali berkutat dengan email, aku berpura-pura tak mendengar pernyataannya. Email balasan ini di tunggu Suzuki-san, orang Jepang satu ini benar-benar cerewet soal email dan jadwal pekerjaan.

"Boleh ya Mas?"

Kembali Yuni bertanya, mengharap perhatian dari suaminya. Aku tahu dia hanya ingin melarikan diri dari pekerjaan "Mbok Jum". Bulan lalu dengan terpaksa Mbok Jum aku kembalikan ke kampungnya untuk beristirahat di hari tua.

25 tahun Mbok Jum membantu Ibu di Padang dan 5 tahun lalu Mbok Jum memutuskan untuk ikut ke Jakarta membantu aku yang baru merintis rumah tangga bersama Yuni. "Biar Abang bisa kerja tenang, biar Mbok Jum yang bantu beres-beres rumah." Ah, alasan Mbok Jum itu seakan dia punya indera ke-6, Yuni tak pernah bisa mengurus rumah dengan baik.

"Gimana Mas?"

Aku masih mencoba berkonsentrasi dengan email namun ribuan kata-kata dalam bahasa Inggris seperti berlari-lari kesana kemari macam kumpulan kijang di kejar cheetah, tak mampu aku kejar untuk digabungkan dalam email balasan si Jepang ini. Yuni masih mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya.

"Mas! Ih, ditanyain kok malah diem aja."

"Berapa lama? Kapan perginya?" Akhirnya aku menyatakan ketertarikanku atas pertanyaannya.

"2 minggu aja kok. Besok siang. Boleh ya Mas?"

"Lah, trus selama 2 minggu itu aku makan apa?"

"Ah gampang itu. Nanti aku minta Henny menyiapkan untukmu. Sekretarismu itu bener-bener top deh Mas. Bisa diminta bantuin apa aja."

Henny, hm.. Boleh juga ide Yuni. Tapi aku harus berpura-pura keberatan biar dia tak curiga.

"Seminggu aja deh. Lama bener 2 minggu. Tapi kalo Ibu bener-bener kangen sama kamu, yah.. Apa boleh buat lah."

"Bener nih Mas? Boleh 2 minggu ya?"

Kali ini cukup mengangguk saja, sambil mata tetap terpaku pada balas membalas email ini.

Yuni berlalu setelah sebelumnya mengecup keningku dan mengucapkan selamat tidur.

Konsentrasi balas email ini makin kacau. Semua rangkaian kalimat bahasa Inggris buyar berganti rangkaian kata untuk pesan singkat ke Henny.

"Dia jadi pergi 2 minggu. Besok siang berangkat. Mulai besok aku tinggal di apartemenmu. Pakai yang sexy."

Kursor di notebook masih berkedip-kedip. Menunggu dengan sabar apa yang akan aku ketik sebagai balasan email Suzuki-san. Disini aku dengan semangat membayangkan mengusutkan sprei ranjang di apartemen Henny. Yuni benar, Henny memang sekretaris yang top. Benar-benar TOP!

Sunday, February 17, 2013

Ketika dulu... Ketika kini...

Ketika dulu istri diacuhkan
Ketika kini yang teracuh disesalkan

Ketika dulu anak-anak tak disayang
Ketika kini yang tak disayang dirindui

Ketika dulu keluarga tercerai berai
Ketika kini yang tercerai dikumpulkan

Ketika dulu harta bergelimang terbuang percuma
Ketika kini yang terbuang diingini

Ketika dulu bahagia dibuang terserak dalam gelap
Ketika kini yang terbuang dipungut

Ketika dulu... Ketika kini...

Monday, November 19, 2012

Cerpen 13 - Tanyaku

"Pa, Ma, aku akan menikah".
Itu kalimat pertama ketika bertemu mereka setelah 3 bulan mereka berdiam di kampung. Kalimat itu membelalakkan mata mereka. Ribuan pertanyaan berawalan kenapa, mengapa, sama siapa, dan awalan pertanyaan lainnya berputar-putar mengulang. Aku tak bisa menjelaskannya secara panjang lebar dan gamblang, hanya saja itu yang ingin aku lakukan sekarang. Mereka memintaku berpikir beribu kali. "Pernikahan bukan permainan rumah-rumahan anak kecil", itu kata mama.

Perkenalanku dengan Devon bermulai 5 bulan lalu. Diawali dikenalkan Lisa maka jadilah kami pasangan. Waktu seperti tak berjalan, namun berlari. Hingga 2 bulan setelah perkenalan itu kami memutuskan untuk menikah. Kami yakin ini ide terbaik karena kami tahu bahwa kami mampu berjalan bersama.

Aku tahu aku berganti pacar seperti aku berganti baju. Ketika aku bosan atau merasa tidak cocok maka seketika itu aku akan putuskan cerita cintaku. Aku punya target, sebelum umur mencapai kepala 3 aku sudah harus menemukan suami. Aku tak mau dijuluki perawan tua oleh orang-orang sekampung. Aku tak mau ditertawai sahabat-sahabatku yang rata-rata sudah menggendong anaknya ketika kami berkumpul.

Lalu muncullah Devon, pria mapan nan rupawan dengan target mencari istri. Aku seperti menemukan teman seperjuangan mencapai target menikah. Kami sering bertukar pikiran, bertukar cerita, bertukar mimpi, hingga tiba-tiba niat itu muncul darinya.

"Gimana kalau kita menikah", aku tersentak mendengarnya. Bukan ide buruk, seruku dalam hati. Devon laki-laki matang dengan umur 32 tahun. memiliki showroom motor lengkap dengan bengkelnya. Memiliki kendaraan sendiri yang cicilannya pun telah dibayar lunas. Maka ide menikah itu kusambut bak menyambut tantangan bungee jumping.

Lalu tibalah waktu untuknya menyatakan niat lamaran itu ke orang tuaku. Karenanya sebelum mereka terkaget-kaget karena kabar ini, lebih baik aku menyampaikan dahulu niat kami.

Genap 3 bulan menikah, aku baru sadar ternyata pilihanku salah. Menikah dan tinggal campur dengan keluarga mertua ternyata sungguh menyiksa. Tak tersedia waktu istirahat untukku di waktu libur. Pulang kerja masih harus duduk bercengkerama dengan ibu mertua. Hari libur aku berkeliling ke keluarga-keluarga lainnya dan diperkenalkan sebagai istri Devon yang bukan saja seorang istri namun seorang pekerjan kantoran dan bisa menyetir mobil demi berkenalan dengan mereka.

Jujur saja, aku sudah tak kuat menjalani ini semua. Aku mulai letih meladeni keinginan ibu mertua yang semakin mengada-ada. Aku ingin merasakan rengkuhan mesra laki-laki yang kupilih sebagai suami. Aku butuh bantuannya menolak semua hal yang berhubungan dengan keluarganya. Aku hanya ingin memiliki waktu berduaan saja dengannya.

Namun ternyata itu semua hanya keinginanku sendiri. Devon tak memiliki hasrat dan keinginan yang sama denganku. Aku sudah tak sanggup berjalan bersamanya lagi. Andai saja bisa menjauh darinya. Hanya saja kali ini aku tak bisa berpisah. Ikatan pernikahan melingkar erat. Aku harus bertahan dengan keriuhan rumah dan keruhnya komunikasi kami. Hanya saja, sanggupkah aku bertahan?

Saturday, November 3, 2012

Cerpen 12 - Misteri Wanita

Kawan, mari aku ceritakan satu cerita. Cerita tentang wanita. Cerita akan kerumitan seorang wanita. Cerita akan kemisteriusan seorang wanita. Cerita tentang menariknya seorang wanita.

Bermula dari ketika aku mendekati seorang wanita. Wanita ini menarik, fisik dan tutur katanya. Rambut hitamnya panjang tergerai sepunggung tersisir rapi selalu. Kulit putih nan mulus terawat terlihat dari ujung-ujung kukunya yang terpotong rapi dipoles cat kuku. Baju yang dikenakannya selalu mengikuti trend masa kini. Belum lagi sepatu atau sandal yang menemani kakinya kemana-mana tak pernah terlihat debu melekat disana. "Sempurna", aku mengucap dalam hati.

Memulai proses pendekatan dengan wanita ini sungguh menguras energi. Penampilan yang aku punya hanya kaos oblong dengan gambarnya nyaris hilang tersapu air sabun untuk mencucinya setiap dua hari sekali. Celana jins yang robek, bukan karena mengikuti mode anak-anak punk tapi karena terlalu sering kena sikat.

Tanpa sepatu, hanya bersandal jepit kamar mandi dengan tali rafia warna merah terikat menyatukan kedua ujung penjepit sandal karena penjepit itu sendiri sudah mulai aus dan mendekati ajalnya, putus.
Rambut berminyak bukan karena gel rambut yang mengubah tatanan rambut menjadi lebih bergaya, namun karena sudah seminggu aku kehabisan shampoo membuat tak bisa keramas.

Mencoba peruntungan aku beranikan diri mencari nomor telepon indekosnya. Melalui seorang teman yang notabene saudara sepupunya, aku bisa nonton bioskop dengannya. Sayangnya syaratnya tak boleh nonton berdua saja dengannya. Jadilah bodyguard yang terdiri dari sepupunya itu dan 2 orang temanku dipaksa menemani kami. Tapi tampaknya suatu hari nanti aku harus berterima kasih pada para bodyguard ini. Mereka dengan pintarnya mengatur tempat duduk agar aku bisa duduk tepat di sebelahnya tanpa diganggu mereka. Jadilah saat itu aku keluar uang buat nonton film action tapi konsentrasi teralih dengan rencana busuk dikepala, bagaimana caranya memegang tangannya di dalam bioskop tanpa membuatnya marah. Ah, sial!

Tenang kawan, saat itu rencana busuk itu tak ku laksanakan.

Setelah hari itu aku mulai berani menelepon indekosnya. Tapi untuk mengajaknya keluar sekedar berjalan-jalan ke mall sungguh sulit. Syarat yang diajukan lama-lama membuatku tak sanggup lagi mengikuti permainannya. Berpakaian kemeja rapi dan licin tersetrika, bersandal bukan sandal jepit kamar mandi, rambut tersisir rapi, mandi 2 kali sehari dan rambut dicuci dengan shampoo, semua bisa aku ikuti. Tapi kalau setiap mau diajak jalan-jalan aku harus bawa teman dan dia harus bawa teman, lalu kapan aku bisa menyatakan perasaan ini? aku tanyakan kenapa harus membawa teman, tak ada jawabannya kawan.

Pusing, aku tanyakan saja pada sepupunya, tau kau apa katanya? Dia malu jalan berdua saja denganku karena tingkat kegantengan yang pas-pas-an, tak seperti pasangan orang lain yang lebih ganteng, tinggi, putih, dan bergaya necis. Karena itu selama ini dia selalu menghindari jalan berdua saja denganku, sampai suatu saat nanti dia menilai penampilanku ini cukup pantas untuk bersanding berdua saja dengannya di mall maka ia akan berani menjawab ajakanku ke mall berdua saja. Gila betul wanita ini kawan.

Setahun berlalu terus macam begitu siapa yang tahan. Tak mau lagi mengikuti permainannya, aku sudahi semua ini dengan tak mau menelepon indekosnya lagi. Kira-kira 1 bulan lewat sudah, sampai suatu malam telepon indekosku yang berbunyi dan ternyata telepon itu untukku. Dari wanita itu? Tak mungkin dia yang telepon kawan, wanita itu pengecut, tak bernyali.

Sepupunya yang menelepon, menanyakan kabar, dan interogasinya pun dimulai. Pertanyaan kenapa dan kenapa dan kenapa terus mengalir darinya. Aku malas meladeni, aku tahu pasti wanita itu menginginkan jawaban. Singkat cerita keluarlah berita wanita itu rindu suaraku. Ha! Rindu! Betul kawan, aku tak salah, dia bilang rindu. Kau bayangkan kawan, sekarang dia bilang rindu suaraku. Benar gila wanita itu.

Wanita itu terus menunggu kapan suaraku akan menyapanya lagi lewat telepon indekos. Wanita pengecut tanpa nyali itu terus menunggu sampai akhirnya tak kuat lagi menunggu dan memohon pertolongan seseorang menyampaikan suara hatinya itu padaku.

Dulu aku ditolaknya setiap hari, sekarang dia bilang rindu.
Dulu aku tak pernah ditunggunya, sekarang dia rela memohon seseorang menyampaikan maksud hati.
Dulu dia tak mau diajak ke mall berdua saja, sekarang dia menjadi istriku.
Dulu dia malu dengan wajahku, sekarang kami menantikan anak kedua.

Nah, sekarang kau mengertikan kau kawan, mengapa kukatakan seorang wanita penuh dengan misteri.