Friday, March 16, 2012

ART #3

Melanjutkan cerita tentang ART yang bekerja di rumah saya, bisa dibaca dari tulisan saya sebelumnya bahwa ART saya ini sungguh udik. Kali ini saya ingin menceritakan kisah udiknya yang lain. Bukan ingin mentertawakan keudikannya, hanya ingin sedikit berbagi cerita bahwa Indonesia yang sudah mulai bergerak maju ini pun masih memiliki orang-orang terbelakang pendidikan macam dirinya.

Suatu hari di tahun 2011, ART ini bertanya pada saya, kapan tepatnya Lebaran akan dimulai. Karena saya tidak ingat persis tanggal berapa, maka saya minta dia untuk membuka kalender saja dan langsung lihat disana kapan tepatnya Lebaran tiba. Sembari membuka kalender itu dia kembali melontarkan pertanyaan, "Kalo Natal tanggal berapa bu?". Saya terperanjat dan melihat sekilas raut wajahnya, memastikan bahwa apakah ia benar-benar bertanya pertanyaan mudah itu. Dan sepertinya ia bertanya dengan serius. Belum sempat saya jawab ia pun bertanya lagi, "Kalo taon baru itu tanggal berapa ya bu?".

Saya yang sedang makan pun langsung meletakkan sendok makan saya dan langsung melihat tajam wajahnya, kemudian saya tanyakan padanya apakah ia benar-benar tidak tahu kapan Natal dan Tahun Baru. Ia pun menatap mata saya dan sambil malu-malu ia menjawab, "He-he-he, saya lupa bu". Apa?! Natal dan Tahun Baru adalah tanggal yang tidak pernah berubah dan tidak akan pernah berubah sampai kapan pun, masa iya ia dengan mudahnya menjawab ia lupa. Saya yakin benar bahwa ia tidak tahu sama sekali kapan Natal dan Tahun Baru tiba.

Singkat cerita akhirnya saya ajari dia tentang tanggal-tanggalan. Lalu saya dapati kenyataan bahwa ia pun tidak tahu kapan tanggal kemerdekaan Indonesia! Yang ia ketahui hanya Agustus-an, karena kalau di kampungnya kemerdekaan Indonesia hanya disebut dengan Agustus-an!

Jadilah akhirnya saya mulai membuka-buka lembar kalender dari bulan Januari hingga Desember demi mengajarinya tanggal-tanggal penting. Saya minta ia mengingat beberapa tanggal penting seperti Tahun Baru, Sumpah Pemuda, Indonesia Merdeka, Natal, dll. Tanggal seperti Lebaran, Idul Adha bukan tanggal yang bisa diingat karena tanggal-tanggal itu selalu berubah-ubah setiap tahunnya.

Tinggal satu atap dengan ART ini terkadang membuat saya bukan hanya melatih kesabaran saya saja, pun juga melatih ingatan akan pengetahuan yang hampir saya lupakan. Sepatutnya saya berterima kasih pada ART ini.

Salam sabar :)

Tuesday, March 13, 2012

ART #2

Saya bersyukur memiliki mertua yang doyan repot mencarikan ART untuk suami dan saya. Saya juga bersyukur mertua saya ini masih mau merepotkan diri mengajar ART bagaimana mengurus rumah saya dengan baik menurut caranya. Saya pun bersyukur mertua mempertemukan saya dengan ART saya yang sekarang ini.

Pertama kali ART ini datang dari kampung rantau di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan ke rumah mertua saya di Palembang, ia diajari berbagai hal dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh mertua saya. Setelah dirasa cukup barulah ART ini dikirimkan ke Jakarta menggunakan pesawat terbang.

Saya tahu, pasti ada beberapa orang yang membaca tulisan ini lalu berkata, "Wah, keren bener ART-nya naek pesawat". Tapi percayalah, bahwa sebenarnya ada alasan lain dibelakang perbuatan elit saya dan mertua ini.

Perjalanan dari Palembang ke Jakarta bisa ditempuh melalui jalan darat, bus yang dilanjutkan dengan naik kapal sampai pelabuhan merak dan lanjut lagi naik bus. Atau naik kereta, lanjut dengan kapal sampai pelabuhan merak, lanjut lagi naik kereta. Hanya saja si ART ini mabuk darat sehingga tak memungkinkannya untuk naik bus. Naik kereta? Ia tak tahu bagaimana caranya naik kereta dari Stasiun Kertapati Palembang, turun di pelabuhan Bakaheuni, naik kereta di merak dan turun di Stasiun Kota (jangan tanya kenapa saya bisa tahu jalur ini). Karena perjalanan ini akan ditempuhnya seorang diri saja, maka moda transportasi yang paling aman baginya hanyalah pesawat terbang.

Yang paling heboh itu justru datang pada saat perjalanan dari bandara ke rumah. Jalanan Jakarta terkenal akan kekalutannya, terutama pada saat jam pulang kerja. Sekarang kita bayangkan apabila jalanan Jakarta di hari Jumat diguyur hujan deras dengan petir menyambar disertai suara geledek bersahutan, jalanan yang biasa ditempuh 1 jam berubah menjadi petaka, 3 jam bergerak malas di tol bandara!

Lalu bayangkan lagi apabila dalam situasi tersebut di mobil duduk dengan orang yang menyebarkan aroma bau badan tak sedap disertai bau muntah akibat gejolak asam lambung yang merangsang otak untuk mengeluarkan semua isi perut ke kantong plastik. Keadaan serba salah, di dalam mobil aroma tak sedap menyeruak tak sopan menyinggung bulu-bulu halus di hidung. Indera penciuman seakan memaksa otak terus bekerja keras menahan keinginan untuk memerintahkan tangan menekan tombol otomatis jendela terbuka agar hawa segar dan air hujan masuk ke dalam mobil, menggantikan udara pengap aroma aneh bin ajaib di dalam mobil. Mungkin ini termasuk salah satu siksaan neraka tingkat pertama.

Singkat cerita ternyata ART ini memiliki aroma tubuh tak biasa. Selidik punya selidik ART ini benar-benar orang dusun tulen. Pakaian yang sudah dikenakannya dikumpulkan berhari-hari dan dicuci hanya dengan mengucek-nguceknya menggunakan air saja. Maka mulailah saya mengajarinya mencuci pakaian dengan direndam terlebih dulu di air berdeterjen baru kemudian dicuci dengan sabun. Saya juga membelikan deodoran dan mengajarinya cara memakai.

Suatu hari saya dapati ternyata ART ini selalu memperhatikan saya ketika akan bepergian. Terkadang saya menyemprotkan sedikit parfum di tubuh saya, kadang saya mengoleskan lotion di tangan dan kaki saya. Semua yang saya lakukan di tubuh saya itu menghasilkan aroma wangi yang menyejukkan hidungnya. Beberapa waktu kemudian ART ini pun membeli berbagai wewangian di warung belakang komplek perumahan.

Singkat cerita akhirnya ART ini sudah sedikit lebih wangi ketimbang pertama kali menginjakkan kakinya di rumah saya. Sesekali masih tercium bau tak sedap dari tubuhnya saat berkeringat. Sesekali juga suami masih mendapati bau tak sedap itu keluar dari mulutnya. Tapi adakah orang-orang kota macam kita yang rela berdekatan dengan orang udik macam dia, bahkan ditemani dengan aroma tak sedap tubuhnya? Ataukah kita sebagai orang kota justru hanya mengucilkan dan semakin menyingkirkannya dari kehidupan kita hanya karena dia udik dan beraroma tak sedap?

Salam aroma :)

Sunday, March 11, 2012

ART #1

Sebenarnya apa sih yang salah dari ART yang pulang kampung? Bukannya itu salah satu hak yang harus dipenuhi oleh sang majikan? Bukankah selama ini si ART sudah memenuhi kewajibannya membantu semua keperluan sang majikan? Lalu kenapa sekarang hak itu ditahan? Apa alasannya hingga majikan bisa menahan hak veto setiap manusia, kebebasan?

Bagi saya, tidak masuk akal rasanya ketika ART meminta ijin pulang kampung kepada sang majikan lalu dibalas dengan pertanyaan, "Ngapain pulang?". Ketika si ART mengajukan keinginannya untuk tidak bersama sang majikan lagi dalam bahasa yang lebih sopan seperti pulang kampung, itu bisa jadi artinya si ART sudah tidak betah bekerja sama dalam perhelatan rumah tangga dengan sang majikan sehingga ia memilih untuk memutuskan tali persatuannya dengan sang majikan. Sama seperti ketika kita jenuh dengan situasi di kantor dan tidak menemukan kecocokan lagi dengan atasan, maka akan dibuat berbagai alasan agar kita bisa pindah ke perusahaan lain.

Atau bisa juga ternyata memang ada keperluan mendadak yang sangat penting baginya hingga ia memutuskan untuk pulang kampung.

Seperti yang saya alami siang kemarin. Saya dan suami sudah di jalan ketika ART menelepon ponsel saya sembari menangis memohon ijin untuk pulang kampung. Saya tenangkan dia sambil bertanya ada masalah apa hingga ia harus pulang kampung. Ia bercerita bahwa adiknya di kampung rantau, di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan, tiba-tiba memberi kabar bahwa pamannya yang tinggal di Jawa Timur meninggal pagi tadi dan ART ini diharuskan untuk pulang. Saya tanyakan bagaimana ia caranya pulang? Mau naik apa, bus atau kereta? Siapa yang akan menemaninya? Berapa uang yang akan dia bawa? Dia katakan bahwa ia memilih pulang dengan kereta tanpa ada yang menemani karena memang dia sudah hafal benar cara-caranya, gaji & pakaian akan ia bawa seadanya saja karena ia berjanji akan kembali lagi setelah semua urusan selesai. Saya katakan padanya sekarang saya sedang berada di tengah jalan menuju ke dokter, saya anjurkan dia untuk menenangkan diri dulu sejenak sambil membereskan pakaiannya.

Itu juga salah satu strategi saya agar bisa berpikir langkah apa yang harus saya lakukan berikutnya. Sejenak berpikir dan merenung lalu saya ceritakan sambil lalu kepada suami. Seketika suami menjawab, "Jangan dikasih pulang. Ngapain dia pulang, ga wajib kok bagi dia untuk pulang. Yang meninggal kan pamannya, bukan ayah atau ibunya."

Hah?! Apa?! Jawaban suami itu membuat otak saya kosong sesaat. Saya tak menyangka kok bisa suami berpikir sepicik itu. Ibu saya yang kebetulan ada di mobil bersama-sama pun menguatkan pernyataan suami. Benar-benar saya dibuat terpana oleh mereka berdua. Lalu setelah kekagetan itu bisa saya atasi, saya katakan pada mereka, "Seandainya kakak dari mama meninggal saat ini juga, dan saya sedang ada di Singapur, dan ketika mama kasih kabar ini saya jawab ga bisa pulang, apa perasaan mama?". Ibu saya terdiam tak mampu menjawab. Saya balik bertanya kepada suami, "Seandainya situasi ini ada di pihak kamu, apa yang akan kamu lakukan?". Mereka berdua hanya bisa menjawab, "Yaaa... Trus mau gimana dong?".

Kecewa benar saya akan pernyataan mereka berdua. Pertanyaan yang saya ajukan malah dibalas dengan pertanyaan lagi. Otak saya berputar cepat. Saya coba hubungi beberapa teman yang terbiasa ke Jawa dengan moda kereta api. Saya cari tahu semua hal tentang kereta api yang berhenti di Stasiun Malang.

Setelah saya tahu semuanya, saya minta suami memutar haluan ke Stasiun Gambir. Bertanya ke loket di Pintu Selatan yang ternyata hanya melayani pembelian tiket keberangkatan saat itu juga. Berputar ke Pintu Utara untuk membeli tiket reservasi. Ikut antrian sambil menoleh kanan kiri karena ternyata semua orang memegang kertas kecil yang telah terisi data-data. Meminta suami menggantikan saya mengantri dan saya pun berkeliling sambil mencari dimana bisa saya temukan kertas kecil itu. Setelah ketemu, terbirit-birit mengisi semua data yang diperlukan karena suami sudah berdiri dekat dengan loket.

Singkat cerita, akhirnya terbeli juga tiket kereta eksekutif Gajayana menuju Malang tertanggal 11 Maret 2012 dan tiket kembali ke Jakarta tanggal 19 Maret 2012. Semua tiket saya belikan tanpa potong uang gajinya. Ia memohon untuk membawa setengah gajinya untuk membantu keperluan di Jawa. Saya berikan sambil berpesan agar hati-hati menyimpan uangnya. Dunia terlalu jahat untuk orang-orang polos macam dia. Dia mengangguk saja, berjanji akan kembali pada tanggal yang dijanjikan. Membayangkan hasil kebun yang akan dibawanya ke Jakarta sebagai oleh-oleh untuk saya dan suami.

Yang akan selalu menjadi pertanyaan saya, kenapa masih ada orang yang menahan ART untuk pulang kampung? Sama seperti pertanyaan berikut namun dalam situasi yang berbeda, mengapa anda mau pindah kerja ke perusahaanlain, padahal di perusahaan ini sudah mendapatkan semua fasilitas bintang 5? Lalu kenapa ART anda tak boleh melirik ke perusahaan lain tanpa seijin anda? Seberapa besar hak anda menahan hak-hak ART anda?

Ironinya anda tak pernah mau hak-hak anda dibatasi oleh hak atasan anda.

Salam hak :)