Tuesday, March 13, 2012

ART #2

Saya bersyukur memiliki mertua yang doyan repot mencarikan ART untuk suami dan saya. Saya juga bersyukur mertua saya ini masih mau merepotkan diri mengajar ART bagaimana mengurus rumah saya dengan baik menurut caranya. Saya pun bersyukur mertua mempertemukan saya dengan ART saya yang sekarang ini.

Pertama kali ART ini datang dari kampung rantau di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan ke rumah mertua saya di Palembang, ia diajari berbagai hal dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh mertua saya. Setelah dirasa cukup barulah ART ini dikirimkan ke Jakarta menggunakan pesawat terbang.

Saya tahu, pasti ada beberapa orang yang membaca tulisan ini lalu berkata, "Wah, keren bener ART-nya naek pesawat". Tapi percayalah, bahwa sebenarnya ada alasan lain dibelakang perbuatan elit saya dan mertua ini.

Perjalanan dari Palembang ke Jakarta bisa ditempuh melalui jalan darat, bus yang dilanjutkan dengan naik kapal sampai pelabuhan merak dan lanjut lagi naik bus. Atau naik kereta, lanjut dengan kapal sampai pelabuhan merak, lanjut lagi naik kereta. Hanya saja si ART ini mabuk darat sehingga tak memungkinkannya untuk naik bus. Naik kereta? Ia tak tahu bagaimana caranya naik kereta dari Stasiun Kertapati Palembang, turun di pelabuhan Bakaheuni, naik kereta di merak dan turun di Stasiun Kota (jangan tanya kenapa saya bisa tahu jalur ini). Karena perjalanan ini akan ditempuhnya seorang diri saja, maka moda transportasi yang paling aman baginya hanyalah pesawat terbang.

Yang paling heboh itu justru datang pada saat perjalanan dari bandara ke rumah. Jalanan Jakarta terkenal akan kekalutannya, terutama pada saat jam pulang kerja. Sekarang kita bayangkan apabila jalanan Jakarta di hari Jumat diguyur hujan deras dengan petir menyambar disertai suara geledek bersahutan, jalanan yang biasa ditempuh 1 jam berubah menjadi petaka, 3 jam bergerak malas di tol bandara!

Lalu bayangkan lagi apabila dalam situasi tersebut di mobil duduk dengan orang yang menyebarkan aroma bau badan tak sedap disertai bau muntah akibat gejolak asam lambung yang merangsang otak untuk mengeluarkan semua isi perut ke kantong plastik. Keadaan serba salah, di dalam mobil aroma tak sedap menyeruak tak sopan menyinggung bulu-bulu halus di hidung. Indera penciuman seakan memaksa otak terus bekerja keras menahan keinginan untuk memerintahkan tangan menekan tombol otomatis jendela terbuka agar hawa segar dan air hujan masuk ke dalam mobil, menggantikan udara pengap aroma aneh bin ajaib di dalam mobil. Mungkin ini termasuk salah satu siksaan neraka tingkat pertama.

Singkat cerita ternyata ART ini memiliki aroma tubuh tak biasa. Selidik punya selidik ART ini benar-benar orang dusun tulen. Pakaian yang sudah dikenakannya dikumpulkan berhari-hari dan dicuci hanya dengan mengucek-nguceknya menggunakan air saja. Maka mulailah saya mengajarinya mencuci pakaian dengan direndam terlebih dulu di air berdeterjen baru kemudian dicuci dengan sabun. Saya juga membelikan deodoran dan mengajarinya cara memakai.

Suatu hari saya dapati ternyata ART ini selalu memperhatikan saya ketika akan bepergian. Terkadang saya menyemprotkan sedikit parfum di tubuh saya, kadang saya mengoleskan lotion di tangan dan kaki saya. Semua yang saya lakukan di tubuh saya itu menghasilkan aroma wangi yang menyejukkan hidungnya. Beberapa waktu kemudian ART ini pun membeli berbagai wewangian di warung belakang komplek perumahan.

Singkat cerita akhirnya ART ini sudah sedikit lebih wangi ketimbang pertama kali menginjakkan kakinya di rumah saya. Sesekali masih tercium bau tak sedap dari tubuhnya saat berkeringat. Sesekali juga suami masih mendapati bau tak sedap itu keluar dari mulutnya. Tapi adakah orang-orang kota macam kita yang rela berdekatan dengan orang udik macam dia, bahkan ditemani dengan aroma tak sedap tubuhnya? Ataukah kita sebagai orang kota justru hanya mengucilkan dan semakin menyingkirkannya dari kehidupan kita hanya karena dia udik dan beraroma tak sedap?

Salam aroma :)

No comments:

Post a Comment