Saturday, August 11, 2012

Cerpen 8 - Cinta Terlarang

Tak ada yang tahu, untuk apa aku menabung sekian lama.
Tak ada yang tahu, mengapa aku berkeras hati ingin ke Belanda.
Tak ada yang tahu, bagaimana aku mengawali rencana ini.

Media sosial membantu banyak perkenalan kita. Perkenalan singkat namun bermakna dalam bagi kita. Aku yang terkesan dengan kepandaianmu, pola pikirmu yang sangat modern dan kebarat-baratan, tak pernah kukira kesan ini bermetamorfosis menjadi kagum yang terbungkus rapi di sudut hati macam kepompong lalu menetas dan merekah seiring waktu menjadi cinta. Cinta yang ternyata tak bertepuk sebelah tangan, kau mengungkapkan hal yang sama. Hati ini tersanjung, terbang ke angkasa tinggi melambung dan tak ingin kembali ke bumi.

Belanda, tempat awal pertemuan yang mendebarkan. Menatap matamu yang agak kebiruan untuk pertama kali dan kulit putihmu seakan menegaskan perbedaan kultur diantara diriku dan dirimu. Ah, menarik sekali laki-laki dihadapan ku ini. Aku berlagak tenang, menjaga bahasa tubuh ku agar tak kelihatan betapa senang hatiku bertemu denganmu. Menjaga tutur bahasaku agar tak ketahuan aku yang serampangan. Laki-laki Indonesia keturunan Belanda yang sungguh membuatku jatuh hati dan tak ingin berpaling lagi. Pemandangan musim gugur di Amsterdam dengan tiupan angin sejuknya tak cukup mampu mengalihkan pandanganku darimu.

Perkenalan dengan keluarga kecil itu seakan menyatukan kepingan kecil dalam hidupku. Seorang tante yang bertahun-tahun tak kutemui, berkenalan dengan om yang bule dan dua orang saudara sepupu laki-laki yang tak pernah kutemui secara langsung, hanya skype tempat perkenalan awal kami. Rumah ini akan menjadi rumahku selama dua minggu ke depan. Aku harus berusaha membiasakan diri dengan bahasa dan situasi sehari-hari di rumah ini. Dinding kamar yang dingin menjadi pemisah sementara diantara kita. Tak apa, dua hari lagi kita akan berkeliling Belanda, menumpang perahu kecil melewati kanal-kanal di Amsterdam, menyaksikan bule-bule Belanda yang baru keluar dari rumah perahu mereka, menikmati rumah-rumah miring khas Amsterdam, menjelajah Volendam, berburu kincir angin untuk difoto, mengejar kereta ke Jerman, Belgia, dan berakhir di menara Eiffel Paris, kota cinta. Aku hanya perlu bersabar dan menikmati semuanya.

Sepuluh hari berkeliling rasanya tubuh ini tak ingin kembali ke Belanda, kembali ke dinding dingin yang memisahkan kita. Belanda juga menjadi tanda bahwa liburan ini telah berakhir, aku harus kembali ke Jakarta, kembali ke realita seakan perjalanan ini hanya mimpi indah sesaat dan ketika terbangun nanti semua ini akan terbang bersama kumpulan molekul udara. Kecupanmu di keningku saat itu menjadi kecupan terakhir kita. Dekapan eratmu saat itu seperti tak ingin melepaskan, udara musim gugur saat itu mulai terasa semakin dingin. Aku tak ingin perjalanan ini berakhir!

Jakarta, kota besar yang menenggelamkan mimpi dua minggu itu secepat angin musim gugur bertiup merontokkan daun-daun di pinggir-pinggir kanal Amsterdam. Aku merasakan angin musim gugur mulai merontokkam daun-daun hati ini karena mereka menentang cinta kita. Tiga bulan berlalu sudah, orang tua dan semua orang mencium gelagat aneh tentang kita selama ini. Mereka menentangnya. Sedih, hati ini pilu. Patah arang, tak tahu hatus mengadu kemana. Pertama kali aku mencinta dan pertama kali cinta ini ditentang. Saudara sepupu yang pertama kali bertemu dan langsung membuatku jatuh cinta. Saudara sepupu yang pertama kali mencium lembut pipiku di bawah menara Eiffel. Saudara sepupu yang mendekapku erat di musim gugur ini. Saudara sepupu yang amat kucinta.

Kini, semua tahu tentang kita.
Kini, semua tahu tentang perjalanan kita.
Kini, semua tahu tentang cinta kita... Cinta yang terlarang...

No comments:

Post a Comment