Sunday, March 11, 2012

ART #1

Sebenarnya apa sih yang salah dari ART yang pulang kampung? Bukannya itu salah satu hak yang harus dipenuhi oleh sang majikan? Bukankah selama ini si ART sudah memenuhi kewajibannya membantu semua keperluan sang majikan? Lalu kenapa sekarang hak itu ditahan? Apa alasannya hingga majikan bisa menahan hak veto setiap manusia, kebebasan?

Bagi saya, tidak masuk akal rasanya ketika ART meminta ijin pulang kampung kepada sang majikan lalu dibalas dengan pertanyaan, "Ngapain pulang?". Ketika si ART mengajukan keinginannya untuk tidak bersama sang majikan lagi dalam bahasa yang lebih sopan seperti pulang kampung, itu bisa jadi artinya si ART sudah tidak betah bekerja sama dalam perhelatan rumah tangga dengan sang majikan sehingga ia memilih untuk memutuskan tali persatuannya dengan sang majikan. Sama seperti ketika kita jenuh dengan situasi di kantor dan tidak menemukan kecocokan lagi dengan atasan, maka akan dibuat berbagai alasan agar kita bisa pindah ke perusahaan lain.

Atau bisa juga ternyata memang ada keperluan mendadak yang sangat penting baginya hingga ia memutuskan untuk pulang kampung.

Seperti yang saya alami siang kemarin. Saya dan suami sudah di jalan ketika ART menelepon ponsel saya sembari menangis memohon ijin untuk pulang kampung. Saya tenangkan dia sambil bertanya ada masalah apa hingga ia harus pulang kampung. Ia bercerita bahwa adiknya di kampung rantau, di daerah pedalaman Sumatera bagian Selatan, tiba-tiba memberi kabar bahwa pamannya yang tinggal di Jawa Timur meninggal pagi tadi dan ART ini diharuskan untuk pulang. Saya tanyakan bagaimana ia caranya pulang? Mau naik apa, bus atau kereta? Siapa yang akan menemaninya? Berapa uang yang akan dia bawa? Dia katakan bahwa ia memilih pulang dengan kereta tanpa ada yang menemani karena memang dia sudah hafal benar cara-caranya, gaji & pakaian akan ia bawa seadanya saja karena ia berjanji akan kembali lagi setelah semua urusan selesai. Saya katakan padanya sekarang saya sedang berada di tengah jalan menuju ke dokter, saya anjurkan dia untuk menenangkan diri dulu sejenak sambil membereskan pakaiannya.

Itu juga salah satu strategi saya agar bisa berpikir langkah apa yang harus saya lakukan berikutnya. Sejenak berpikir dan merenung lalu saya ceritakan sambil lalu kepada suami. Seketika suami menjawab, "Jangan dikasih pulang. Ngapain dia pulang, ga wajib kok bagi dia untuk pulang. Yang meninggal kan pamannya, bukan ayah atau ibunya."

Hah?! Apa?! Jawaban suami itu membuat otak saya kosong sesaat. Saya tak menyangka kok bisa suami berpikir sepicik itu. Ibu saya yang kebetulan ada di mobil bersama-sama pun menguatkan pernyataan suami. Benar-benar saya dibuat terpana oleh mereka berdua. Lalu setelah kekagetan itu bisa saya atasi, saya katakan pada mereka, "Seandainya kakak dari mama meninggal saat ini juga, dan saya sedang ada di Singapur, dan ketika mama kasih kabar ini saya jawab ga bisa pulang, apa perasaan mama?". Ibu saya terdiam tak mampu menjawab. Saya balik bertanya kepada suami, "Seandainya situasi ini ada di pihak kamu, apa yang akan kamu lakukan?". Mereka berdua hanya bisa menjawab, "Yaaa... Trus mau gimana dong?".

Kecewa benar saya akan pernyataan mereka berdua. Pertanyaan yang saya ajukan malah dibalas dengan pertanyaan lagi. Otak saya berputar cepat. Saya coba hubungi beberapa teman yang terbiasa ke Jawa dengan moda kereta api. Saya cari tahu semua hal tentang kereta api yang berhenti di Stasiun Malang.

Setelah saya tahu semuanya, saya minta suami memutar haluan ke Stasiun Gambir. Bertanya ke loket di Pintu Selatan yang ternyata hanya melayani pembelian tiket keberangkatan saat itu juga. Berputar ke Pintu Utara untuk membeli tiket reservasi. Ikut antrian sambil menoleh kanan kiri karena ternyata semua orang memegang kertas kecil yang telah terisi data-data. Meminta suami menggantikan saya mengantri dan saya pun berkeliling sambil mencari dimana bisa saya temukan kertas kecil itu. Setelah ketemu, terbirit-birit mengisi semua data yang diperlukan karena suami sudah berdiri dekat dengan loket.

Singkat cerita, akhirnya terbeli juga tiket kereta eksekutif Gajayana menuju Malang tertanggal 11 Maret 2012 dan tiket kembali ke Jakarta tanggal 19 Maret 2012. Semua tiket saya belikan tanpa potong uang gajinya. Ia memohon untuk membawa setengah gajinya untuk membantu keperluan di Jawa. Saya berikan sambil berpesan agar hati-hati menyimpan uangnya. Dunia terlalu jahat untuk orang-orang polos macam dia. Dia mengangguk saja, berjanji akan kembali pada tanggal yang dijanjikan. Membayangkan hasil kebun yang akan dibawanya ke Jakarta sebagai oleh-oleh untuk saya dan suami.

Yang akan selalu menjadi pertanyaan saya, kenapa masih ada orang yang menahan ART untuk pulang kampung? Sama seperti pertanyaan berikut namun dalam situasi yang berbeda, mengapa anda mau pindah kerja ke perusahaanlain, padahal di perusahaan ini sudah mendapatkan semua fasilitas bintang 5? Lalu kenapa ART anda tak boleh melirik ke perusahaan lain tanpa seijin anda? Seberapa besar hak anda menahan hak-hak ART anda?

Ironinya anda tak pernah mau hak-hak anda dibatasi oleh hak atasan anda.

Salam hak :)

No comments:

Post a Comment