Monday, November 19, 2012

Cerpen 13 - Tanyaku

"Pa, Ma, aku akan menikah".
Itu kalimat pertama ketika bertemu mereka setelah 3 bulan mereka berdiam di kampung. Kalimat itu membelalakkan mata mereka. Ribuan pertanyaan berawalan kenapa, mengapa, sama siapa, dan awalan pertanyaan lainnya berputar-putar mengulang. Aku tak bisa menjelaskannya secara panjang lebar dan gamblang, hanya saja itu yang ingin aku lakukan sekarang. Mereka memintaku berpikir beribu kali. "Pernikahan bukan permainan rumah-rumahan anak kecil", itu kata mama.

Perkenalanku dengan Devon bermulai 5 bulan lalu. Diawali dikenalkan Lisa maka jadilah kami pasangan. Waktu seperti tak berjalan, namun berlari. Hingga 2 bulan setelah perkenalan itu kami memutuskan untuk menikah. Kami yakin ini ide terbaik karena kami tahu bahwa kami mampu berjalan bersama.

Aku tahu aku berganti pacar seperti aku berganti baju. Ketika aku bosan atau merasa tidak cocok maka seketika itu aku akan putuskan cerita cintaku. Aku punya target, sebelum umur mencapai kepala 3 aku sudah harus menemukan suami. Aku tak mau dijuluki perawan tua oleh orang-orang sekampung. Aku tak mau ditertawai sahabat-sahabatku yang rata-rata sudah menggendong anaknya ketika kami berkumpul.

Lalu muncullah Devon, pria mapan nan rupawan dengan target mencari istri. Aku seperti menemukan teman seperjuangan mencapai target menikah. Kami sering bertukar pikiran, bertukar cerita, bertukar mimpi, hingga tiba-tiba niat itu muncul darinya.

"Gimana kalau kita menikah", aku tersentak mendengarnya. Bukan ide buruk, seruku dalam hati. Devon laki-laki matang dengan umur 32 tahun. memiliki showroom motor lengkap dengan bengkelnya. Memiliki kendaraan sendiri yang cicilannya pun telah dibayar lunas. Maka ide menikah itu kusambut bak menyambut tantangan bungee jumping.

Lalu tibalah waktu untuknya menyatakan niat lamaran itu ke orang tuaku. Karenanya sebelum mereka terkaget-kaget karena kabar ini, lebih baik aku menyampaikan dahulu niat kami.

Genap 3 bulan menikah, aku baru sadar ternyata pilihanku salah. Menikah dan tinggal campur dengan keluarga mertua ternyata sungguh menyiksa. Tak tersedia waktu istirahat untukku di waktu libur. Pulang kerja masih harus duduk bercengkerama dengan ibu mertua. Hari libur aku berkeliling ke keluarga-keluarga lainnya dan diperkenalkan sebagai istri Devon yang bukan saja seorang istri namun seorang pekerjan kantoran dan bisa menyetir mobil demi berkenalan dengan mereka.

Jujur saja, aku sudah tak kuat menjalani ini semua. Aku mulai letih meladeni keinginan ibu mertua yang semakin mengada-ada. Aku ingin merasakan rengkuhan mesra laki-laki yang kupilih sebagai suami. Aku butuh bantuannya menolak semua hal yang berhubungan dengan keluarganya. Aku hanya ingin memiliki waktu berduaan saja dengannya.

Namun ternyata itu semua hanya keinginanku sendiri. Devon tak memiliki hasrat dan keinginan yang sama denganku. Aku sudah tak sanggup berjalan bersamanya lagi. Andai saja bisa menjauh darinya. Hanya saja kali ini aku tak bisa berpisah. Ikatan pernikahan melingkar erat. Aku harus bertahan dengan keriuhan rumah dan keruhnya komunikasi kami. Hanya saja, sanggupkah aku bertahan?

No comments:

Post a Comment