Saturday, July 20, 2013

Cerpen 15 - TKI

"Kalian tunggu di sini. Satu bulan ke depan, kalian akan diberangkatkan."

Itu janji si agen waktu kami semua baru sampai di tempat penampungan TKI di daerah Tangerang, Banten. Namun hari ini genap 3 bulan aku menunggu di sini. Menurut perjanjian dari kampung dulu, jika dalam waktu 3 bulan kami semua belum diberangkatkan maka kami akan dipulangkan ke kampung masing-masing. Jadi, sekarang aku menunggu mereka mengeluarkan jadwal kepulangan kami semua. 

Malam ini kembali aku mendengar suara kasak kusuk dari kamar sebelah. Lampu-lampu kamar sudah dimatikan. Semua tampak tak jelas, hanya bayang-bayang gelap yang bergerak perlahan dengan suara berbisik sesekali. Ini sudah malam ke-5, ada apa sebenarnya?

Pagi itu aku mencoba mencari jawaban pertanyaan malam tadi. Saat sarapan aku berkeliling mencoba mencuri dengar pembicaraan rekan-rekan dari kamar sebelah. Suara mereka terlalu kecil, lebih kecil dari suara berbisik.

"Semalam si Jum yang dibawanya. Malam ini malam ke-6. Kira-kira siapa lagi yang akan mereka ambil malam ini?"

"Aku takut Mar. Aku mau ikut karena dijanjikan untuk jadi pembantu di luar negeri, bukan untuk dijual jadi pelacur. Apa kata tetanggaku di kampung nanti."

"Ah, bukan kau saja yang takut. Semua pun tak ada yang mau dijadikan pelacur."

"Jadi bagaimana ini Mar, apa kita minta dipulangkan saja siang ini?"

Mariyam hanya diam. Entah berpikir atau melamun jauh membayangkan anaknya yang akan masuk SMP tahun depan. Biaya sekolah memang gratis, namun biaya buku, seragam, alat tulis, dan peralatan belajar lainnya itu membutuhkan uang. Entah apa keputusan yang akan diambilnya.

Dijual? Pelacur? Gila mereka. Bagi mereka perjanjian dengan orang kampung yang pengetahuannya terbatas itu hanya sekedar formalitas saja. Aku akan melarikan diri malam ini. Aku harus melarikan diri malam ini!

Saat lampu-lampu sudah dimatikan, 2 orang pria masuk ke kamarku. Mataku terpejam namun telingaku terus mencari-cari suara derap sepatu mereka, kemana mereka akan berhenti. Jantungku berdegup cepat. Derap sepatu mereka terdengar pelan, sepelan hembusan angin malam ini. Mulutku komat kamit berdoa, semoga malam ini aku diselamatkan-Nya. Banyak suara berbisik pelan berdoa hal yang sama denganku. Sumiati yang tidur di samping ranjangku mulai terisak pelan, dia terus menyebut nama suaminya.

Beberapa orang yang ranjangnya dilewati menghembuskan nafas lega sambil mengucap "Alhamdullilaahhh". Dua orang itu masih terus berjalan pelan sambil sesekali berhenti untuk memperhatikan wajah kami apakah wajah orang yang harus mereka bawa malam ini. Keringat mulai membasahi badanku, padahal pendingin ruangan di kamar ini biasanya membuatku menggigil kedinginan. Aku masih terus komat kamit berdoa, kali ini aku menggenggam tangan Sumiati, berusaha saling menguatkan.

Derap sepatu itu berhenti. Seketika kamar itu menjadi sepi. Hanya suara pendingin ruangan yang berbunyi. Beberapa kepala menoleh. Beberapa terduduk di ranjangnya. Sumiati semakin menggenggam keras tanganku, isakannya semakin kencang. Aku mengangkat sedikit kepalaku, mengintip dari ujung kakiku. Mereka berhenti tepat di kaki ranjangku. Ya Tuhan! Aku akan dibawanya!

"Ningtyas, kamu ikut kami sekarang. Bereskan barang-barangmu." Mereka berbisik di telingaku dengan tegas. Kepalaku pening, aku tak dapat berpikir sekarang. Bagaimana caranya aku melarikan diri malam ini kalau mereka akan membawaku sekarang juga? Ah sial sekali aku malam ini. 

Sambil berkemas aku berpikir cepat, aku harus temukan cara agar bisa lari dari situasi ini. 

"Sudah? Ayo cepat! Kita sudah harus pergi sekarang."

"Sudah Pak. Kita mau kemana Pak?"

"Nanti akan dijelaskan di jalan. Ayo, cepat jalannya."

Lorong penyambung antara kamar tidur dengan lobby rasanya panjang sekali. Degup jantungku semakin berlari. 

Tiba-tiba saja aku dengan berani berkata pada mereka, "Pak, Bapak punya anak perempuan? Apa Bapak tega menjualnya ke lelaki hidung belang? Anggaplah saya anak Bapak, tolong jangan jual saya Pak."

Dia berhenti jalan, membalikkan badannya menghadapku, dan sebersit aku lihat raut mukanya berubah kebapakan. Apa tebakanku kena, dia punya anak perempuan seumurku? Dia diam sejenak, sepertinya berpikir, lalu dia berbisik,

"Ah sial, kamu memperumit kondisi kami."

"Sudahlah Min, kita biarkan yang satu ini. Biar resikonya saya tanggung. Dengar nak, nanti sampai di depan kamu lari saja. Tapi kamu tidak boleh kembali ke kampungmu. Mengerti?"

Aku mengangguk pelan. Mencoba memastikan apa benar perkataannya.

Sesampainya di depan pintu keluar pusat penampungan TKI, 2 orang bapak yang menjemputku di kamar malam itu melepasku, menyuruhku berlari sekencang mungkin tanpa menoleh ke belakang lagi sampai aku lihat jalan raya di depan dan menyetop angkot untuk mengangkutku pergi menjauh dari "rumah" itu. Dengan ongkos seadanya aku melarikan diri ke Jakarta, bersembunyi di kontrakan sepupu jauh ayah. Menceritakan semuanya, terus menyebut "terima kasih Tuhan" karena Dia mendengar doaku, menjelma dalam wujud bapak itu menyelamatkan nyawaku. Menghubungi keluarga di kampung, memastikan mereka tidak akan menyebut tempat persembunyian baruku di Jakarta. Mencari pekerjaan baru sebagai pembantu rumah tangga untuk membayar biaya hidup selama 3 bulan mendekam di rumah penampungan TKI. 

Hidupku perlahan kembali normal walau masih tak berani pulang ke kampungku karena preman-preman agen TKI itu masih keliaran di sana memastikan aku membayar semua biaya yang sudah mereka keluarkan sebagai biaya hidupku 3 bulan di penampungan itu. Bagi kalian ini mungkin hanya cerita sinetron murahan yang sekarang banyak ditayangkan di televisi untuk mendongkrak citra, namun bagiku ini pelajaran kehidupan bahwa terkadang bahagia itu sederhana, bahwa terkadang materi hanya kebahagiaan semu, bahwa ternyata gengsi bisa menyengsarakan batin, bahwa ternyata Dia bisa berwujud dalam banyak rupa.

No comments:

Post a Comment